Thursday, February 13, 2025
spot_img
HomeHukumMinta Libatkan Pesantren, LPBH NU: Jatim Darurat Judol dan Pinjol!

Minta Libatkan Pesantren, LPBH NU: Jatim Darurat Judol dan Pinjol!

ilustrasi judi online. (foto: cakrawarta/AI)

Surabaya, – “Tanpa menganggap yang tak penting, kami menilai dua isu yakni Judol dan Pinjol menjadi hal yang patut dan penting diperhatikan. Di Jatim dua kasus inilah yang paling mengemuka,” kata Ketua PW LPBH NU Jatim H Sullamul Hadi, S.Ag., SH., MH dalam keterangan di Kantor PW LPBH NU Jatim di Surabaya, Selasa (24/12/2024).

“Catatan hukum ini untuk mewujudkan sikap PW LPBH NU Jatim dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana diarahkan dalam Khittah NU,” imbuhnya.

Pernyataan Sullamul Hadi tersebut merupakan bagian dari catatan Refleksi Akhir Tahun Bidang Hukum, Pengurus Wilayah Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PW LPBH NU Jatim) yang bertugas melaksanakan pendampingan, penyuluhan, konsultasi, dan kajian kebijakan hukum di wilayah Jatim.

Mengutip data dari Kementerian Politik dan Hukum, Sullamul Hadi menyebutkan bahwa di tahun 2024 terdapat 8,8 juta warga masyarakat Indonesia menjadi pelaku judi online (judol) dan sekitar 80% dari jumlah tersebut merupakan warga masyarakat bawah dan anak muda.

“Artinya, Judol ini bukan barang mahal karena dapat diakses dan dimainkan oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dengan nilai transaksi di bawah 100 ribu rupiah per hari. Kendati nilai transaksi Judol-nya kecil, tetapi jika dilakukan setiap hari oleh jutaan pelaku maka jumlahnya sangat besar,” paparnya.

Sullamul Hadi, dengan mengutip data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), menyebutkan bahwa Jatim menjadi daerah dengan peringkat keempat tertinggi jumlah pelaku Judolnya di Indonesia dengan nilai transaksi sekitar Rp 1,051 triliun.

“Padahal nilai transaksi Judol yang besar ini kan bisa digunakan secara positif untuk sektor pendidikan misalnya pembangunan sekolah atau madrasah, atau pembangunan rumah sakit, maupun pemberian modal usaha untuk UMKM, namun sayang hanya “menguap” untuk permainan Judol yang sia-sia dan pelakunya tidak pernah menang,” ujarnya miris.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Divisi Litbang PW LPBH NU Jatim, lanjutnya, ternyata Jatim menduduki menjadi provinsi terbanyak jumlah perkara perjudian (konvensional) yang diputus pengadilan. “Dari 50 PN dengan jumlah perkara tertinggi yang terdata pada Direktori Putusan Mahkamah Agung dalam tahun 2011-2024, total perkara perjudian di Jatim berjumlah 12.277 perkara. Disusul Sumatera Utara 8.204 perkara, Jawa Tengah 2.842 perkara, Jawa Barat 1.321 perkara, Riau 1.301 perkara, Sumatera Barat 604 perkara, Banten 502 perkara, Bangka Belitung 484 perkara, Kalimantan Barat 465 perkara, Bali 420 perkara, dan Jakarta 402 perkara,” paparnya detail.

KetuaLPBH NU Jatim, Sullamul Hadi. (foto: istimewa)

Besarnya jumlah perkara perjudian di wilayah Jatim tersebut, lanjutnya, menunjukkan menandakan bahwa Jatim masuk dalam situasi “darurat perjudian”. Dan, lanjutnya, menunjukkan bahwa Judol bukan hanya sebagai masalah hukum semata, tetapi juga merupakan bagian dari masalah sosial.

“Karena terlihat sekali kan bahwa Judol dan perjudian yang masif di Jatim itu dapat mempengaruhi kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat, khususnya terkait keharmonisan keluarga yang terganggu hingga berujung pada perceraian dan keluarga berantakan atau broken home,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, kasus perjudian menjadi sebab terjadinya kasus perceraian mengingat berdampak secara signifikan pada sektor ekonomi rumah tangga khususnya utang-piutang. “Terlebih dengan adanya kemudahan mengajukan utang secara online yang dikenal dengan Pinjaman Online atau Pinjol, maka animo warga masyarakat khususnya para pelaku perjudian berhutang untuk bermain Judol akan cukup tinggi dan ini sesuai dengan data PPATK dimana sumber dana judol ternyata dari pinjol,” tukasnya.

Lebih miris lagi, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa Jatim merupakan peringkat ketiga untuk kategori provinsi dengan jumlah total pinjaman yakni menyentuh angka sekitar Rp 7,8 T dengan karakter pinjaman macet Pinjol mencapai Rp 218 M.

“Pinjaman yang macet itu berpotensi memicu terjadinya perbuatan kriminal, seperti penggelapan, pencurian, pembunuhan, hingga bunuh diri. Jadi, judol adalah penyakit sosial yang memiliki dampak kerusakan yang sangat besar dan multiplier effect,” tegasnya.

Dalam catatan LPBH NU, dengan banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri di wilayah Jatim menunjukkan “kesuksesan” dalam penegakan hukum, namun menjadi ironis karena sama artinya sebuah bentuk “kegagalan” dalam pencegahan perjudian.

“PW LPBH NU Jatim merekomendasikan upaya pencegahan yakni optimalisasi kewenangan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah Cq. Kementerian KOMDIGI untuk penutupan akses segala transaksi elektronik yang memiliki unsur pelanggaran dan pemberian sanksi pidana terhadap segala transaksi elektronik yang terdapat unsur pelanggaran hukum oleh penegak hukum Pidana,” harapnya

Selain itu, pihak PW LPBH NU Jatim, lanjutnya, meminta pemerintah untuk lebih melibatkan lembaga-lembaga keagamaan dalam pencegahan terjadinya judol dan pinjol, seperti pondok pesantren, tokoh-tokoh agama, dan para ulama, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, terutama literasi mengenai bahaya judol dan pinjol kepada kalangan remaja dan pemuda yang menurut catatan juga tinggi angka keterlibatannya.

(rils/rafel)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular