Friday, March 29, 2024
HomeGagasanMengenang Kepergian Buya Hamka (1): Saya Marah, Hamka Dikatakan Plagiator

Mengenang Kepergian Buya Hamka (1): Saya Marah, Hamka Dikatakan Plagiator

 

Bulan Juli ini, Buya Hamka meninggal dunia di usia 73 tahun. Tepatnya tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Diberitakan ia gagal organ multipel. Sangatlah tepat jika figur Buya Hamka kembali kita ingat di tengah-tengah situasi merebaknya wabah pandemi Covid-19 dan banyaknya aksi protes masyarakat di berbagai bidang. Lebih tepatnya sulit untuk mencari figur yang jujur seperti Buya Hamka. Gelar Buya berarti juga gelar ulama di Sumatera Barat. Buya adalah sebutan untuk seorang Kiai di Minangkabau. Gelar ini biasanya diberikan kepada orang yang alim dalam ilmu agama. Seseorang dipanggil Buya terutama disebabkan pemahamannya yang mendalam terkait pengetahuan agama.

Buya Hamka, nama aslinya adalah Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo. Lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai sastrawan Indonesia. Awal mulanya berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan aktif dalamMuhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta, mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Buat saya yang tidak sezaman dengan Hamka, saya hanya bisa menbelanya ketika membaca buku “Aku Mendakwa Hamka Plagiat – Skandal Sastra Indonesia 1962-1964, yang terbit bulan September 2011 setebal 238 halaman, penerbit Seripa Manent & Merakesumba.

Waktu itu saya langsung membacanya dan kemudian merenung, buat apa buku ini diterbitkan lagi. Apa maksud penulisnya, Muhidin M.Dahlan mengungkapkannya lagi di hadapan khalayak.

Buku tulisan Muhidin M.Dahlan ini hanya mengulang peristiwa bulan September 1962 yang menuduh Hamka sebagai plagiat dalam novelnya “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” (1938) dan sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar. Hamka dituduh melakukan plagiat dari novel “Magdalena” yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, “Sous les Tilleuls”.

Saya mengkritisi: “Perlu kita pahami polemik di sekitar tahun itu (1962-1964) tidak murni lagi polemik sebagaimana seorang ilmuwan. Polemik sudah mengarah ke fitnah, adu domba, sebagaimana sifat warga  komunis di Indonesia yang benci dengan Islam. Perlu diketahui bahwa Hamka seorang Muslim sejati. Tidak hanya itu, PKI juga waktu itu menginginkan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)  dibubarkan. Jadi persoalannya bukan sebatas dunia sastra, tetapi sudah mengarah ke perbedaan yang amat jelas antara PKI dan Islam…Jadi tidak ada yang baru dengan buku ini, polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI tahun 1965… “

Selanjutnya saya berkomentar: “Saya sependapat dengan pernyataan H.B.Jassin: “Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi jelas Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri…..maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”

Jassin juga menegaskan bahwa novel “Van der Wijck” membahas masalah adat Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar. Kritikus sastra asal Belanda, A. Teeuw juga menyatakan bahwa “Van der Wijck” sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.

Awal tahun 1963, dunia sastra kita memang digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: “Harian Rakjat” dan “Harian Bintang Timur.” Kedua koran milik Komunis ini menyiarkan di halaman pertama dengan berita “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian “Bintang Timur” dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alfonso Carr, pujangga Perancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramudya Ananta Toer.

Dalam buku “Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka,” yang ditulis oleh puteranya Hamka, Irfan Hamka, dinyatakan: “Berbulan-bulan lamanva kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah, juga menyerang secara pribadi. Aku lihat ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramoedya Ananta Toer itu. Penulis waktu itu sekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku seorang guru PGRI Vak Sentral begitu pula dengan guru pengajar “civic” ku dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara gratis.”

Selanjutnya Irfan Hamka menulis: “PKI melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965, namun gagal. Dalam usaha kup itu 6 jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Toer ditahan di Pulau Buru. Bertahun-tahun kemudian Pramoedya Ananta Toer dibebaskan, kemudian melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang ayah di kedua koran Komunis itu.”

“…Suatu hari, ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya seorang keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti menyatakan bahwa dia anak sulung Pramoedya Ananta Toer. Astuti menemani Daniel menemui ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama ini Daniel non muslim. Pramoedya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah nikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.”

“Hanya sebentar ayah berfikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua tamu itu dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramoedya Ananta Toer langsung di-Islam-kan oleh ayah dengan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Ayah menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam kepada ayah. Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramoedya dan calon menantunya itu, ayah tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramoedya dengan ayah yang pernah terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah dihancurkan nama baiknya oleh Pramoedya Ananta Toer melalui corong Komunis di harian ‘Bintang Timur’ dan Harian Rakyat.”

Kembali Irfan Hamka menulis: “Salah seorang teman Pramoedya bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada Pramoedya alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjawab: “Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah seorang ulama yang terbaik.”

Menurut Dr. Hudaifah yang tertuang dalam majalah “Horison,” Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknya Pramudya Ananta Toer dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan seakan minta maaf atas perilakunya memperlakukan ayah di harian “Bintang Timur” dan “Harian Rakyat.” Secara tidak langsung pula ayah memaafkan Pramoedya Ananta Toer dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama Islam kepada sang calon menantu.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Sejarawan Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular