Saturday, May 10, 2025
spot_img
HomeSosokMenanam Cinta di Tanah Wakaf: Perjalanan Iman Seorang Polisi dan 75 Santri...

Menanam Cinta di Tanah Wakaf: Perjalanan Iman Seorang Polisi dan 75 Santri Yatim

Aiptu Herman Handoko saat menjadi pengajar bagi puluhan anak yatim di Pondok Pesantren Nuuruddaaroin, Kelurahan Procot, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Sabtu (10/5/2025). (foto: dokumen pribadi)

TEGAL, CAKRAWARTA.com – Di balik gemerlap lampu patroli dan hiruk-pikuk tugas kepolisian, Aiptu Herman Handoko menapaki jalan sunyi yang penuh kasih dan pengabdian. Kanitsamapta Polsek Adiwerna, Polres Tegal itu, bukan hanya penjaga ketertiban di jalanan, tapi juga penuntun jalan hidup bagi puluhan anak yatim piatu di Pondok Pesantren Nuuruddaaroin, Kelurahan Procot, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.

Sejak tahun 2018, Aiptu Herman hadir di pesantren tak sekadar sebagai pengajar. Ia membawa serta semangat kebangsaan, nilai-nilai karakter, dan—yang paling penting—pelukan hangat yang tak lagi dimiliki oleh banyak santri di sana. “Saya hanya ingin mereka tumbuh menjadi anak-anak yang kuat, cerdas, dan mencintai negeri ini,” ucapnya penuh haru, Sabtu (10/5/2025).

Namun kisah ini tak dimulai dari ruang kelas, melainkan dari sebuah ruang kecil bernama keprihatinan. Sekitar tahun 2010, bersama empat rekannya sesama polisi—Aiptu Heri Widiyanto, Aiptu Kardiyanto, Aiptu Budi Wijakyono, dan Aiptu Agung Puji Setiawan—mereka membentuk majelis taklim kecil. Tahun 2017, dari ruang sederhana itu tumbuh cita-cita besar: mendirikan pesantren khusus anak yatim piatu secara swadaya, di atas sebidang tanah wakaf.

“Pak Herman salah satu yang paling berperan dari awal. Kami memulai semuanya dengan niat dan tangan kosong, tapi keyakinan kami penuh,” kenang Kyai M. Abdul Kholik, pengasuh pondok pesantren.

Kini, Nuuruddaaroin menjadi rumah bagi 75 santri. Dari awalnya hanya 20 anak, jumlah itu terus bertambah. Mereka tak hanya diasuh, tapi juga dididik secara gratis. Program hafalan Al-Qur’an, kajian kitab kuning, hingga pelatihan keterampilan seperti memasak dan mengelas, semua diberikan tanpa pungutan. Untuk membiayainya, para pendiri menyisihkan sebagian gaji mereka setiap bulan.

“Ini bukan soal mampu atau tidak. Ini soal hati. Kami ingin anak-anak ini tetap bisa bermimpi, punya masa depan, meski hidup mereka dimulai dari kehilangan,” tutur Aiptu Herman lirih.

Bagi para santri, pondok ini lebih dari sekadar tempat tinggal. “Kami merasa punya keluarga lagi. Semua gratis, makan bergizi, ada uang saku, dan diajarin banyak hal. Pak Herman seperti ayah bagi kami,” kata Moh. Arifin, salah satu santri dengan mata berbinar.

Dukungan juga datang dari Kapolres Tegal, AKBP Bayu Prasatyo, yang menjadi salah satu bapak asuh pondok tersebut. “Kami sangat mendukung perjuangan ini. Ponpes Nuuruddaaroin adalah tempat tumbuhnya generasi yang insyaAllah akan membawa cahaya bagi bangsa,” ujarnya.

Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, kisah Aiptu Herman dan sahabat-sahabatnya mengingatkan kita bahwa cinta sejati tak selalu bersuara keras. Ia tumbuh perlahan, di tanah wakaf yang sunyi, dalam senyum anak-anak yatim yang kini punya tempat pulang, dan dalam setiap peluh pengabdian seorang polisi yang menanam harapan dengan penuh cinta.

(Reza/Rafel)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular