
JAKARTA, Cakrawarta.com – Aksi puluhan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang menuntut pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berakhir di balik jeruji. Demonstrasi yang berlangsung di depan Gedung DPR/MPR RI yang berlangsung pada Jumat (9/5/2025) itu, dibubarkan paksa oleh aparat, dan para peserta aksi digiring ke Polres Metro Jakarta Pusat.
Aksi yang semula berlangsung damai itu berubah menjadi kacau setelah aparat keamanan merangsek masuk ke barisan massa dan melakukan penangkapan tanpa penjelasan. Beberapa mahasiswa bahkan mengaku tidak sempat melawan atau menjelaskan posisi mereka saat diamankan.
Tuntutan para mahasiswa sederhana: meminta lembaga legislatif segera mengkaji proses pencalonan Gibran yang dinilai sarat kepentingan politik dan diduga melanggar etika konstitusional. Namun suara mereka tak sampai ke parlemen, justru dihentikan paksa oleh aparat negara.
“Penangkapan ini adalah bentuk represi atas ekspresi politik anak muda. Negara seperti alergi terhadap kritik,” kata salah satu aktivis HAM yang turut mengecam insiden tersebut.
Hingga hari ini, para mahasiswa yang ditangkap belum dibebaskan dan belum diberi akses pendampingan hukum secara terbuka. Keluarga dan rekan mereka mendesak pembebasan segera, dan meminta Komnas HAM serta lembaga pengawas independen mengusut dugaan pelanggaran hak sipil dan politik dalam insiden ini.
Peristiwa ini memicu pertanyaan publik: apakah negara masih menjamin kebebasan menyampaikan pendapat di ruang publik, atau justru mulai menegakkan hukum secara selektif dan represif?
Dalam iklim demokrasi yang sehat, kritik semestinya menjadi vitamin, bukan musuh. Ketika mahasiswa turun ke jalan membawa suara rakyat, lalu disambut dengan borgol, maka yang perlu ditinjau ulang bukan hanya kebijakan—tapi cara negara memperlakukan warganya.
(Reza/Rafel)