Friday, April 19, 2024
HomeGagasanMemahami Fenomena Mutasi Virus Pada Covid-19 dan Apa Yang Harus Dilakukan

Memahami Fenomena Mutasi Virus Pada Covid-19 dan Apa Yang Harus Dilakukan

 

Pandemi COVID-19 masih melanda dunia walaupun sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Upaya intervensi untuk penanganan terus dilakukan agar dapat menekan penyebaran kasus. Pada awal tahun 2021, Indonesia mengalami lonjakan peningkatan tertinggi sepanjang pandemi dengan kasus harian rata-rata diatas 10 ribu. Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan memperketat mobilisasi masyarakat yaitu dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan kemudian dilanjutkan dengan PPKM mikro yang sampai sekarang masih berlangsung di pulau Jawa dan Bali. Selain itu juga, sejak pertengahan bulan Januari 2021 telah dimulai program vaksinasi COVID-19. Dengan keterbatasan jumlah vaksin saat ini, kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan menjadi prioritas pertama untuk mendapatkannya. Upaya program vaksinasi ini diharapkan untuk mencapai Herd Immunity atau kekebalan kelompok. Pencapaian Herd Immunity ini tentunya akan menghadapi banyak tantangan, tidak hanya terkait pelaksanaan program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah (ketersediaan vaksin, jumlah vaksinator dan distribusi vaksin) maupun kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif tetapi justru datang dari munculnya varian atau mutasi virus baru yang kemungkinan bisa menghindari antibodi yang terbentuk setelah diberikan vaksin.

Setiap virus secara alamiah akan mengalami mutasi atau terjadi perubahan materi genetik ketika proses replikasi atau penggandaan genom yang dilakukan di dalam sel tubuh manusia. Tingkat mutasi virus secara teori menghasilkan satu mutasi dari beberapa ratus hingga ribuan salinan genom yang terbentuk dari replikasi. Bahkan tingkat mutasi yang jauh lebih tinggi, mungkin satu mutasi muncul per satu salinan genom. Sifat mutasi bisa merusak, netral, atau terkadang menguntungkan bagi virus. Hanya mutasi yang tidak mengganggu fungsi penting virus yang dapat bertahan dalam populasi virus dan tentunya akan terseleksi di dalam tubuh manusia sebagai bentuk adaptasi virus terhadap sel inang atau manusia. Sehingga tipe mutasi virus ini akan muncul mendominasi. Sebagian besar memang mutasi virus yang muncul tidak membuat perbedaan besar pada cara virus berperilaku. Sekitar kurang dari 5% mutasi yang muncul berdampak pada perubahan perilaku atau karakteristik virus yang teramati.

Pada situasi pandemi COVID-19, kemunculan mutasi virus ini memaksa masyarakat agar dapat memahami fenomena perilaku virus yang berubah sebagai dampaknya. Istilah mutasi virus ini menjadi menyeruak ketika beberapa negara melaporkan mutasi ini (1) sebagai penyebab adanya trend peningkatan kasus yang tidak wajar, (2) diperoleh dari surveilans genomik yang dilakukan oleh negara (3) diindikasikan menyebabkan perubahan perilaku atau karakteristik virus yang lebih membahayakan. Sejumlah pengamatan yang dilakukan oleh peneliti telah menemukan beberapa tipe mutasi yang kemudian dikaitkan dengan perubahan perilaku virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Bahkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan perhatian khusus dan menekankan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran tipe mutasi tersebut antara lain D614G, B.1.1.7.1, B.1.351, dan P.1. Perilaku virus varian baru ini yang dikhawatirkan berdampak pada (1) gagalnya pemeriksaan dengan PCR atau rapid tes antigen, (2) penularan cepat, (3) keparahan penyakit, (4) efektifitas vaksin yang diberikan. Sehingga akan mempersulit pengendalian pandemi COVID-19.

Kekuatan mutasi yang mampu mengubah perilaku virus ini sangat tergantung pada lokasi mutasi dan jumlah mutasi yang muncul di virus. Virus yang berkembang di dalam satu individu dengan individu lain bisa memunculkan tipe mutasi yang berbeda. Faktor-faktor seperti semakin dekat titik mutasi pada bagian aktif virus dan meningkatkan fungsinya, banyaknya mutasi, terjadinya akumulasi, bersifat menguntungkan virus dan terseleksi menjadi tipe mutasi dominan pada populasi virus maka penyebaran mutasi virus ini secara meluas menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Tipe mutasi yang muncul ini tidak dapat diprediksi sebelumnya dan bersifat acak.

Fenomena mutasi virus SARS-CoV-2 ini dimulai dari penemuan tipe mutasi D614G
yang berhasil diidentikasi pertama kali di Eropa pertengahan bulan Februari 2020 dan kemudian sekitar bulan Juni 2020 terungkap memiliki tingkat penularan 10 kali lebih tinggi dari strain virus yang ditemukan di Tiongkok. Kini D614G tidak hanya ditemukan di Eropa tetapi mendominasi lebih dari 70% kasus di seluruh dunia. Selanjutnya, penemuan mutasi terbaru dari Eropa dilaporkan oleh negara Inggris yang diberikan nama mutasi 501Y.V1 atau B.1.1.7 pada September 2020. Kemunculan mutasi ini diikuti oleh fenomena laju penyebaran virus yang begitu cepat dan adanya peningkatan kematian sebesar 1.3 x atau 30% pada kasus harian COVID-19 di Inggris. Mutasi ini 50-70% lebih menular dan telah tersebar di 94 negara di dunia, termasuk di Indonesia. Dilaporkan ada 6 kasus mutasi B.1.1.7 yang ditemukan di Indonesia dan diinformasikan orang yang terinfeksi virus tersebut sudah sembuh dan penelusuran kontak erat tidak ditemukan virus. Berbeda dengan mutasi D614G yang merupakan mutasi single, B.1.1.7 ini adalah akumulasi 16 mutasi yang muncul pada protein spike (sebagai bagian aktif virus). Tak lama setelah berita varian B.1.1.7 pecah, para ilmuwan di Afrika Selatan mengungkapkan telah berhasil mengidentifikasi mutasi virus 501Y.V2 atau B.1.351 dengan adanya infeksi yang cepat di dua wilayah Provinsi Cape Timur dan Barat. Sejak itu juga telah ditemukan setidaknya 20 negara lain terinfeksi dengan mutasi jenis ini. Kedua tipe B.1.1.7 dan B.1.351 ini membawa mutasi N501Y yang memiliki kemampuan untuk membantu protein spike virus mengikat lebih erat reseptor ACE2 sebagai jalan masuknya ke sel manusia dibandingkan dengan tipe D614G atau yang ditemukan di Wuhan. Selanjutnya muncul varian 501Y.V3 atau P.1 yang ditemukan di Brazil. Kesamaan antara tipe B.1.351 dan P.1 ini adalah membawa mutasi E484K yang diduga bisa menurunkan efikasi vaksin karena kemampuannya menghindari antibodi dalam plasma darah pasien yang terjangkit COVID-19 selama gelombang pertama pandemi. Mutasi yang terbaru saat ini adalah N439K yang sudah ditemukan lebih dari 30 negara. Tentunya kemunculan mutasi baru ini disoroti karena disebut lebih “pintar” dibandingkan dengan varian atau mutasi sebelumnya, tetapi masih dalam tahap kajian oleh WHO.

Meskipun dampak beberapa mutasi yang ditemukan sekarang sebagai tanda yang mengkhawatirkan karena berakibat pada peningkatan daya tular, berkorelasi dengan keparahan penyakit, mengurangi atau bahkan mungkin dapat menghilangkan efektivitas vaksin. Kemunculan mutasi ini tidak akan berhenti sampai disini. Yang perlu dipahami adalah semakin banyak orang terinfeksi dengan COVID-19 dan semakin lamanya virus itu berada dalam tubuh maka virus ini dapat mudah berkembang biak di dalam tubuh manusia dan mengakumulasi mutasi. Sehingga mutasi-mutasi lain berpotensi untuk muncul.

Dengan adanya isu kemunculan mutasi ini maka sangat penting untuk dilakukan pengawasan genom virus atau surveilans genom guna memonitor perkembangan mutasi, memahami dan memantau perubahan perilaku virus dalam penularan, virulensi, dan patologi penyakit. Selain pengawasan mutasi ini dilakukan oleh global, pengawasan lokal pun memainkan peranan penting untuk memantau varian/mutasi sejak dini termasuk di Indonesia. Tanpa adanya upaya universal yang kuat dan terkoordinasi untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi varian yang muncul ini dapat berisiko menimbulkan penyebaran yang semakin luas dan tak terkendali maka berakibat pada pemulihan kesehatan masyarakat dan ekonomi yang semakin lambat.

Masyarakat hendaknya mengambil hikmah dari peristiwa mutasi ini agar tidak lagi memberikan kesempatan pada virus untuk menemukan host (manusia) dan berkembang biak di dalam tubuh host yaitu dengan mencegah masuknya infeksi dengan protokol kesehatan. Sehingga dengan prokes ini juga dapat meminimalisir kemungkinan mutasi virus yang muncul serta mendukung keberhasilan vaksin dalam membentuk kekebalan tubuh individu untuk melawan COVID-19. Selanjutnya akan segera tercapai Herd Immunity atau kekebalan populasi. Pada akhirnya pandemi COVID-19 akan segera berakhir. Semoga.

LAURA NAVIKA YAMANI

Dosen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Peneliti di Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular