Tuesday, December 9, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomMelampaui Stigma: Belajar dari Negara Kesejahteraan Iran

Melampaui Stigma: Belajar dari Negara Kesejahteraan Iran

Wacana publik tentang Iran di Indonesia kerap kali dibingkai dalam narasi-narasi simplistis. Iran dipersepsikan sebagai teokrasi otoriter yang represif, atau bahkan sebagai “negara gagal” yang hidup dalam bayang-bayang embargo dan isolasi internasional. Persepsi seperti ini tak jarang diperkuat oleh informasi yang beredar secara sembarangan di media sosial, sering kali tanpa dasar literatur akademik yang kuat.

Namun, buku A Social Revolution: Politics and the Welfare State in Iran karya Kevan Harris (University of California Press, 2017) menghadirkan perspektif berbeda yang lebih tajam, empiris, dan menyeluruh. Harris, seorang sosiolog politik, membongkar asumsi lama dan memperlihatkan bahwa Revolusi Islam 1979 di Iran tidak hanya menciptakan perubahan elit atau ideologi, tetapi juga menghasilkan transformasi institusional yang radikal, terutama dalam pembangunan negara kesejahteraan (welfare state).

Revolusi Sosial yang Terlupakan

Harris menyebut bahwa Revolusi Iran memunculkan apa yang ia sebut sebagai “revolusi sosial”, yakni terbentuknya institusi-institusi redistributif yang menjangkau akar rumput dan memperluas keadilan sosial. Dalam pandangan ini, Iran pasca-revolusi tak bisa semata-mata dilihat sebagai negara ideologis-religius, tapi juga sebagai negara yang membangun infrastruktur kesejahteraan dengan keseriusan dan daya jangkau yang luar biasa.

Tiga bidang utama yang disorot Harris adalah pendidikan, kesehatan, dan partisipasi perempuan. Ketiganya menjadi penanda penting dari keberhasilan Iran membangun struktur negara kesejahteraan yang hidup dan terus berkembang—meskipun berada dalam tekanan geopolitik dan sanksi ekonomi internasional.

Pendidikan sebagai Pilar Keadilan

Salah satu capaian terbesar Revolusi Islam adalah perluasan akses pendidikan. Setelah 1979, negara Iran secara sistematis membangun sekolah-sekolah di pelosok desa, menasionalisasi kurikulum, dan menerapkan pendidikan dasar wajib serta gratis. Hasilnya sangat signifikan: tingkat melek huruf melonjak dari 47% pada 1976 menjadi lebih dari 85% pada awal 2000-an. Hal ini dicapai bukan hanya karena kebijakan pusat, tetapi juga melalui kerja lembaga semi-negara seperti bonyads yang berperan besar dalam menyediakan sumber daya sosial dan ekonomi.

Sistem Kesehatan Berbasis Komunitas

Sektor kesehatan juga mengalami reformasi radikal. Pemerintah membangun health houses di berbagai wilayah pedesaan, fasilitas kesehatan primer yang menyediakan layanan dasar seperti imunisasi, perawatan ibu dan anak, serta program gizi. Model ini dikembangkan dengan pendekatan komunitas yang memungkinkan partisipasi langsung masyarakat dalam pengelolaan layanan.

Indikator kesehatannya pun mencolok: angka kematian bayi dan ibu menurun drastis dalam dua dekade pasca-revolusi. Selain itu, skema asuransi kesehatan publik diperluas, mencakup tidak hanya pegawai negeri, tapi juga petani dan pekerja informal. Institusi seperti Social Security Organization dan Imam Khomeini Relief Foundation menjadi tulang punggung sistem ini.

Perempuan, Politik, dan Paradoks Islamisasi

Paradoks menarik muncul ketika Islamisasi negara justru membuka ruang baru bagi perempuan. Meskipun kurikulum sekolah diislamisasi dan segregasi gender diperketat, partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi melonjak tajam. Pada awal 2000-an, perempuan mencakup lebih dari 60% mahasiswa universitas di Iran. Hal ini dimungkinkan oleh kebijakan afirmatif berbasis wilayah, pengembangan universitas jarak jauh, serta insentif pendidikan bagi keluarga di daerah rural.

Selain itu, banyak perempuan berperan aktif dalam jaringan pelayanan sosial negara, menjadi guru, petugas kesehatan, dan pekerja sosial. Mereka membentuk jaringan solidaritas baru yang memperkuat modal sosial perempuan kelas bawah dan menengah.

Transformasi ini menunjukkan bahwa Revolusi Islam bukan hanya soal pendalaman identitas keagamaan, tetapi juga tentang redistribusi kesempatan sosial yang lebih luas, bahkan untuk kelompok yang sebelumnya terpinggirkan.

Antitesis dari Klise Barat

Buku Harris penting dibaca bukan hanya karena membongkar asumsi dominan tentang Iran, tetapi juga karena menggugat klaim bahwa negara kesejahteraan hanya dapat tumbuh dalam kerangka demokrasi liberal. Iran membuktikan bahwa dengan konsensus ideologis dan kapasitas institusional yang cukup, rezim non-liberal pun mampu membangun mekanisme redistribusi sosial yang fungsional.

Lebih jauh lagi, model Iran menunjukkan bahwa kebijakan publik tak selalu berasal dari dorongan pasar bebas atau partai politik elektoral. Dalam kasus ini, dorongan datang dari proyek ideologis revolusioner yang berpadu dengan kepentingan kelas sosial baru yang muncul dari bawah. Negara, dalam konteks Iran, bukan sekadar alat dominasi, tetapi juga arena perjuangan sosial.

Menimbang Kembali Narasi Global

Tentu saja, tidak semua hal di Iran ideal. Masih ada represi politik, pembatasan hak sipil, dan dominasi elit ulama yang perlu dikritisi. Namun kritik yang konstruktif harus dibangun dari pemahaman yang adil, bukan dari prasangka atau informasi sepotong.

Dalam iklim global yang sering kali menyederhanakan negara-negara non-Barat sebagai “lain” yang eksotis atau bermasalah, penting bagi kita untuk mengembangkan wawasan yang lebih kaya. Buku Harris adalah salah satu jendela untuk itu, membuka kemungkinan bahwa keadilan sosial bisa diperjuangkan dalam berbagai bentuk dan sistem.

Membuka Cakrawala Kritis

Di tengah riuh rendah informasi yang kerap mengandalkan kutipan viral, potongan video, dan narasi instan, kita perlu kembali pada literatur akademik yang berbasis riset dan data. Kita perlu melampaui opini yang lahir dari “dengkul” dan mulai berpikir dengan akal sehat—berbasis bacaan yang bergizi, bukan sekadar kabar yang di-forward dari grup WhatsApp.

Memahami Iran bukan berarti menyetujui semua praktik politiknya, tetapi merupakan latihan intelektual yang penting untuk menimbang ulang asumsi-asumsi lama. Ini pula yang menjadi peran penting ilmu politik hari ini: membedah kekuasaan tidak hanya dari bentuknya, tetapi juga dari fungsinya bagi masyarakat.

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN

Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular