
Setiap ibadah dalam haji selalu punya arah.
Tawaf mengelilingi Ka’bah bukan sekadar melangkah memutari bangunan. Ia berlawanan arah jarum jam, mengikuti orbit semesta. Sebagaimana elektron mengelilingi inti atom. Sebagaimana planet mengitari matahari. Gerak itu harmonis karena ada pusatnya, ada tujuannya. Ka’bah, simbol tauhid.
Sa’i pun demikian. Dari Shafa ke Marwah, bolak-balik bukan sembarang jalan atau lari kecil. Ini bukan jogging spiritual, ini adalah jejak cinta seorang ibu, Siti Hajar, yang mencari air untuk anaknya. Gerak itu berulang, tapi bukan tanpa makna. Ia penuh keyakinan, bahwa di ujung usaha, ada karunia Allah. Air zamzam yang tak pernah kering.
Wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina, semuanya bukan sekadar ritual. Tapi gerak yang diarahkan. Ada waktu. Ada titik. Ada arah.
Haji mengajarkan kita bahwa bergerak tanpa arah hanyalah kelelahan. Tapi gerak dengan arah, itulah ibadah.
Dan arah tertinggi, tak lain tak bukan, menuju Allah.
Langit Israel dan Gema Doa Umat
Tepat di tengah rangkaian haji tahun ini, dunia gemetar oleh berita, “Iran meluncurkan serangan udara ke arah Israel.”
Sebagian menyebut ini geopolitik, aksi militer, strategi Timur Tengah.
Tapi dari sisi ruhani, kita bisa merenung.
Bukankah jutaan muslim sedang berhaji?
Bukankah jutaan tangan sedang terangkat memanjat doa?
“Ya Allah, bebaskan Al-Aqsha…”.
“Ya Rabb, lindungi saudara kami di Palestina…”.
“Ya Hakim, tegakkan keadilan atas yang dizalimi…”.
Mungkin, di tengah udara panas Mina, atau malam gelap Muzdalifah, ada doa-doa yang tak hanya menembus langit, tapi juga menggerakkan langit.
Iran hanyalah alat. Arah rudal itu mungkin hanyalah simbol.
Tapi arah doa umat, itulah sesungguhnya yang sedang menjebol batas langit.
Antara Rudal dan Doa
Kalau rudal itu bergerak karena sistem navigasi satelit, maka doa bergerak karena hati yang khusyuk.
Kalau misil itu menarget karena koordinat GPS, maka doa menarget karena keikhlasan yang jernih.
Dan seperti drone tempur yang diarahkan pusat komando, maka diri kita pun harus diarahkan hati yang tersambung ke Allah.
Tanpa arah, misil hanya besi melayang.
Tanpa arah, manusia hanya tubuh berjalan.
Arah Hati: Di Mana Kita Sekarang?
Maka pertanyaannya bukan soal siapa menang dan siapa kalah.
Tapi, ke mana arah hati kita sekarang?
Apakah kita sedang menuju Allah?
Atau sekadar berputar-putar dalam zona nyaman?
Apakah ibadah kita hanya gerakan tanpa orientasi?
Atau seperti tawaf, yang setiap langkahnya mendekatkan ke pusat nurani?
Mari kita periksa kembali.
Apakah diri kita sedang bergerak menuju ridha Allah?
Apakah keluarga kita mengarah ke keberkahan?
Apakah ilmu dan karier kita menuju kemanfaatan bagi sesama?
Karena bukan banyaknya langkah, tapi ke mana langkah itu dituju, yang membuat kita sampai.
Gerakan Langit, Seruan Bumi
Haji bukan festival gerakan, tapi latihan arah.
Dan kadang, dunia digetarkan bukan oleh kekuatan, tapi oleh doa-doa yang jujur.
Semoga haji tahun ini, dan segala kejadian yang terjadi di balik radar dunia, menjadi pengingat.
Langit pun bisa bergerak,
jika hati di bumi berserah.
FIRMAN ARIFIN
Dosen PENS, Jamaah Haji 2025 Kloter 92 Nurul Hayat



