Monday, November 3, 2025
spot_img
HomeGagasanManisnya Peluang dan Getirnya Tantangan Industri Kuliner di Era Digitalisasi

Manisnya Peluang dan Getirnya Tantangan Industri Kuliner di Era Digitalisasi

Pernahkah kita menyadari bahwa segelas kopi yang kita teguk di pagi hari, film yang mengaduk-aduk emosi, hingga video singkat yang kita gulir di layar ponsel, sesungguhnya bagian dari sebuah ekosistem ekonomi raksasa bernama industri kreatif? Industri kreatif kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ia memadukan daya cipta budaya, potensi sumber daya manusia, serta inovasi teknologi untuk melahirkan layanan dengan nilai tambah tinggi.

Dikutip dari buku Projecting Indonesia’s Creative Economy Potential, sektor industri kreatif menyumbang sekitar 3,1% terhadap PDB global dan menyediakan lapangan kerja bagi 6,2% populasi dunia. Di Indonesia, sektor ini bahkan menjadi pilar penting pembangunan nasional, dengan lebih dari 19 juta talenta kreatif yang menggantungkan hidupnya di dalamnya. Peluang yang besar ini tentu hadir seiring tantangan yang tak kecil, terutama di era transformasi digital saat ini.

Masifnya perkembangan teknologi seperti artificial intelligence atau akal imitasi (AI), Internet of Things (IoT), big data, dan komputasi awan membuka jalan bagi lahirnya infrastruktur digital sekaligus melahirkan peluang baru bagi ekonomi kreatif. Namun, di sisi lain, ia juga menuntut adaptasi cepat, meningkatkan ketidakpastian, serta menimbulkan kebutuhan mendesak akan keterampilan digital. Belum meratanya infrastruktur digital di Indonesia, hingga persoalan royalti hak cipta, kerap menjadi tantangan yang membayangi. Pemerintah berupaya menjawab ini melalui penguatan manajemen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) serta promosi potensi ekonomi kreatif di ajang internasional, salah satunya World Conference on Creative Economy (WCCE) 2021.

Mari kita arahkan perhatian pada salah satu primadona industri kreatif Indonesia yaitu sektor kuliner. Dari 17 subsektor industri kreatif yang diakui pemerintah, mulai dari arsitektur, desain, film, musik, hingga fesyen, kuliner menempati posisi istimewa. Ia bukan hanya berkontribusi paling besar terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), melainkan juga menjadi sektor paling menjanjikan. Siapa yang mampu menolak pesona rendang, soto, nasi goreng, atau jajanan pasar yang menggugah selera? Kuliner bukan sekadar soal mengenyangkan perut, melainkan identitas, tradisi, sekaligus peluang ekonomi yang menggiurkan.

Data Kementerian Luar Negeri dalam buku Projecting Indonesia’s Creative Economy Potential mencatat, subsektor makanan dan minuman menyumbang 41% dari total PDB ekonomi kreatif, atau sekitar Rp 455,43 triliun dari Rp 1.134 triliun pada 2022. Tak kurang dari 10,67 juta masyarakat Indonesia menggantungkan hidup dari denyut industri ini. Industri kuliner merepresentasikan jutaan mimpi, tetesan keringat, dan inovasi mulai dari koki, pemilik warung, petani, hingga kurir pengantar pesanan, yang saling bersinergi.

Era digitalisasi hari ini ibarat bumbu penyedap yang mengubah wajah industri kuliner secara drastis. Makanan kini tak harus datang dari restoran besar; ia bisa lahir dari dapur rumahan dan sampai ke tangan pembeli hanya lewat satu klik. Aplikasi pesan-antar menghadirkan demokratisasi pasar dimana warung kaki lima di gang sempit bisa bersaing dengan restoran ternama di pusat kota.

Digitalisasi juga melampaui aspek pemasaran. Sistem Point of Sale (POS), QRIS, pengelolaan stok, pencatatan transaksi, hingga analisis penjualan kini terotomatisasi. Media sosial dan e-commerce memungkinkan makanan lokal dari kota kecil dipasarkan hingga ibu kota. Studi di DKI Jakarta menunjukkan, pemasaran digital berpengaruh positif terhadap omzet UMKM selama pandemi. Riset Universitas Borobudur bahkan mencatat 61,69% pelaku UMKM kuliner memanfaatkan platform online seperti GoFood, GrabFood, dan ShopeeFood. Teknologi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi dan produktivitas, melainkan juga menekan biaya produksi sekaligus mengurangi limbah.

Namun, peluang manis ini datang bersama getirnya tantangan. Kesenjangan keterampilan digital masih menghantui, terutama di kalangan pelaku usaha yang lebih senior. Kesulitan mengoperasikan aplikasi, membaca data, hingga membuat konten pemasaran yang menarik menjadi hambatan nyata. Infrastruktur digital yang belum merata juga menciptakan ketimpangan persaingan.

Lebih jauh, ketergantungan besar pada platform pesan-antar menghadirkan risiko tersendiri. Kebijakan baru atau kenaikan biaya layanan dari penyedia platform bisa langsung memangkas profit usaha kecil. Perang harga dan promosi masif di aplikasi kerap menekan margin keuntungan. Sementara itu, tantangan lain hadir dari aspek kualitas: kebersihan dapur yang tidak higienis, standar rasa yang tidak konsisten, hingga pengemasan yang buruk dapat menurunkan mutu produk di mata konsumen.

Digitalisasi sektor kuliner, dengan demikian, ibarat pisau bermata dua. Ia membuka peluang besar seperti luasnya pasar, efisiensi bisnis, hingga peningkatan pendapatan, namun sekaligus membawa risiko berupa ketimpangan akses digital, persaingan ketat, dan volatilitas kebijakan platform.

Keberhasilan menghadapi tantangan ini, menurut banyak pelaku bisnis, bukan semata-mata soal tools, melainkan soal mindset. Semua pihak perlu berperan aktif meningkatkan literasi dan keterampilan digital, khususnya bagi UMKM kuliner. Program pelatihan, pendampingan, hingga inovasi produk dan standarisasi kualitas menjadi kunci agar sektor ini mampu bertahan.

Sebab, pada ujung sendok dan garpu itu, tersimpan perjuangan masyarakat yang tengah mempertaruhkan nasibnya.

TAZKIA QURROTA ‘AINI

Mahasiswa Program Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif
Sekolah Pascasarjana Unair

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular