
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Polarisasi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dinilai kian mengeras dan berpotensi menjauhkan organisasi dari jalan musyawarah yang selama ini menjadi ruh Nahdlatul Ulama. Hal itu disampaikan tokoh senior NU asal Surabaya, Sudarsono Rahman, menyikapi perang pernyataan di ruang publik yang melibatkan pendukung kubu Rais Aam KH Miftahul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
Sudarsono menilai, dinamika yang muncul belakangan bukan lagi sekadar perbedaan pandangan organisatoris, melainkan telah berkembang menjadi polarisasi terbuka yang saling mempertajam posisi.
“Ini terlihat jelas dari saling balas pernyataan di media. Padahal para masyayikh dan kiai sepuh sudah meminta agar masing-masing pihak menahan diri dan tidak mengumbar sikap ke ruang publik,” kata Sudarsono pada media ini di Surabaya, Selasa (23/12/2025).
Menurut dia, seruan para kiai sepuh yang berkumpul di sejumlah pesantren besar seperti Ploso, Tebuireng, dan Lirboyo sejatinya lahir dari niat tulus untuk meredam konflik dan menyelesaikan persoalan PBNU secara bermartabat. Namun, imbauan tersebut dinilai tidak lagi diindahkan oleh para pendukung di kedua kubu.
“Kalau sudah menjadi pendukung fanatik, memang sulit untuk diam. Polanya sudah seperti ‘cebong versus kampret’. Pernyataan-pernyataan itu justru menyiram bensin ke api, bukan menyelesaikan masalah substantif,” ujar pria yang juga Wakil Ketua Umum Barikade Gus Dur itu.
Sudarsono menegaskan, keprihatinan para masyayikh dan kiai sepuh bukan tanpa dasar. Salah satu yang menjadi perhatian serius adalah dugaan pelanggaran Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU, khususnya terkait mekanisme pemberhentian Ketua Umum PBNU yang hanya melalui rapat harian Syuriah dan diumumkan lewat surat edaran.
“Cara seperti itu memicu kegaduhan dan menimbulkan tanda tanya besar di kalangan nahdliyin,” kata dia.
Ia mengakui, secara struktural forum masyayikh dan kiai sepuh memang tidak tercantum dalam nomenklatur organisasi NU. Begitu pula dengan keterbatasan Musyawarah Kubro yang tidak memiliki kewenangan memberikan ultimatum, serta PWNU dan PCNU yang tidak berwenang menyelenggarakan muktamar luar biasa (MLB). Namun, Sudarsono mengingatkan bahwa NU tidak bisa dipahami semata-mata sebagai organisasi administratif.
“Roh NU itu ada pada para kiai sepuh, masyayikh, dan pesantren. NU adalah organisasi ulama. Para kiai itulah pemilik NU yang sah secara kultural dan historis,” ujarnya. Karena itu, ia menilai sikap sebagian pihak yang langsung memvonis langkah para masyayikh sebagai salah tanpa memahami alur musyawarah merupakan bentuk penyederhanaan persoalan.
Di sisi lain, Sudarsono juga menyoroti informasi mengenai langkah-langkah struktural di daerah yang dinilai problematis. Ia menyebut adanya gerakan yang mengarah pada penataan ulang kepengurusan di tingkat wilayah dan cabang dengan meminta pengumpulan kembali surat keputusan (SK) kepengurusan, termasuk yang telah kedaluwarsa.
“Yang lebih mengkhawatirkan, ada informasi bahwa PCNU yang SK-nya sudah kedaluwarsa akan diterbitkan SK baru tanpa melalui konferensi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip organisasi dan sangat berbahaya,” kata Sudarsono. Ia menyebut langkah semacam itu berpotensi memperlebar konflik dan merusak tata kelola organisasi NU.
Sudarsono berharap seluruh pihak di PBNU kembali pada semangat dasar NU, yakni tabayun, musyawarah, dan penghormatan terhadap para ulama sepuh. “Kita semua besar di NU. Tidak perlu saling menggurui. Jangan mengajari bebek berenang,” ujarnya.(*)
Kontributor: Tommy



