Saturday, December 20, 2025
spot_img
HomeGagasanHujan, Sains, dan Ilusi Kendali Manusia

Hujan, Sains, dan Ilusi Kendali Manusia

Pada akhir November 2025, hujan lebat yang dipicu badai siklon langka mengguyur Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tanpa jeda. Banjir bandang dan longsor yang menyertainya menjelma menjadi salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah Indonesia mutakhir. Dalam hitungan hari, ratusan nyawa melayang. Pada pertengahan Desember, jumlah korban jiwa telah melampaui seribu orang, sementara lebih dari satu juta penduduk terpaksa mengungsi.

Fenomena cuaca ekstrem ini berkaitan dengan terbentuknya Siklon Tropis Senyar di sekitar Selat Malaka, yang memicu curah hujan hingga sekitar 300 milimeter per hari di sejumlah wilayah Sumatera. Peristiwa tersebut menegaskan kembali satu kenyataan pahit bahwa manusia masih sangat rapuh di hadapan dinamika alam.

Ironisnya, setahun sebelumnya, publik menyaksikan upaya pengendalian cuaca dalam konteks yang sangat berbeda. Menjelang upacara peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2024 di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, pemerintah menghadapi prakiraan hujan lebat yang dikhawatirkan mengganggu rangkaian acara. Solusi yang dipilih adalah penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) melalui operasi penyemaian awan secara intensif selama dua pekan. Operasi ini disebut berhasil menjaga cuaca tetap cerah di kawasan IKN, dengan anggaran miliaran rupiah.

Menariknya, di luar pendekatan teknologi, hadir pula praktik yang bersumber dari tradisi. Seorang pawang hujan didatangkan dengan ritual tertentu sebagai ikhtiar tambahan untuk “menahan” hujan. Laporan di lapangan menyebutkan bahwa selama hampir dua pekan menjelang upacara, hujan memang tak turun di kawasan inti kegiatan.

Peristiwa serupa juga pernah terjadi dalam ajang MotoGP Mandalika 2022. Ketika panitia menggunakan jasa pawang hujan untuk mengantisipasi cuaca, perhatian publik internasional pun tertuju pada praktik tersebut. Pada titik inilah, pertanyaan menjadi bukan sekadar teknis, melainkan juga politis dan filosofis yaitu, mengapa upaya “mengendalikan” hujan tampak wajib ketika taruhannya adalah seremoni, tetapi nyaris absen ketika yang dipertaruhkan adalah keselamatan warga?

Pawang Hujan dan Logika Sains

Pawang hujan merupakan figur yang diyakini mampu menunda atau memindahkan hujan melalui doa, mantra, dan ritual tertentu. Tradisi ini tumbuh dari masyarakat agraris yang memandang cuaca bukan semata gejala fisik, melainkan bagian dari relasi spiritual antara manusia dan alam. Dalam konteks sosial, kehadiran pawang hujan kerap menghadirkan ketenangan batin, rasa kebersamaan, dan keyakinan kolektif di tengah ketidakpastian cuaca.

Namun, dari sudut pandang sains modern, klaim tersebut dipandang sebagai pseudosains. Hujan, menurut ilmu atmosfer, merupakan hasil interaksi kompleks antara suhu, tekanan udara, kelembapan, dan dinamika awan serta bukan akibat intervensi ritual. Ketika hujan tak turun setelah ritual dilakukan, sains memaknainya sebagai kebetulan alamiah, bukan hubungan sebab-akibat.

Di sisi lain, sains pun memiliki keterbatasannya sendiri. Teknologi modifikasi cuaca, seperti penyemaian awan, tidak pernah menjanjikan kepastian mutlak. Berbagai riset menunjukkan bahwa peningkatan curah hujan akibat cloud seeding relatif kecil dan sangat bergantung pada kondisi awan yang sudah ada. Teknologi ini bukan tombol pengendali cuaca, melainkan intervensi dengan tingkat ketidakpastian yang tetap tinggi.

Dengan demikian, baik pawang hujan maupun TMC berangkat dari dorongan yang sama yaitu keinginan manusia untuk mengurangi ketidakpastian alam. Perbedaannya terletak pada paradigma. Tradisi bersandar pada simbol, makna, dan relasi spiritual, sementara sains menuntut pembuktian empiris dan pengukuran objektif. Ketika keduanya diperlakukan sebagai solusi mutlak, keduanya berisiko berubah menjadi ilusi kendali.

Melampaui Dikotomi Tradisi dan Sains

Krisis iklim dan cuaca ekstrem menuntut pendekatan yang lebih dewasa. Kearifan lokal dapat berperan sebagai pengetahuan kontekstual di tingkat komunitas, sementara sains modern menyediakan instrumen mitigasi berbasis data. Tantangannya bukan memilih salah satu, melainkan menempatkan keduanya secara proporsional.

Dialog lintas disiplin antara ilmuwan atmosfer, antropolog, dan tokoh adat, perlu dibuka secara lebih sistematis. Pendekatan semacam ini dapat mencegah dua kecenderungan yang sama-sama bermasalah yakni mengabaikan kearifan lokal secara arogan atau menghabiskan sumber daya publik untuk teknologi yang efektivitasnya tak dievaluasi secara kritis.

Lebih dari itu, edukasi publik menjadi kunci. Masyarakat perlu dibekali literasi sains yang memadai, tanpa harus tercerabut dari akar budaya mereka sendiri.

Fenomena pawang hujan dan teknologi modifikasi cuaca mengingatkan kita bahwa pengetahuan manusia selalu lahir dalam konteks keterbatasan. Alih-alih mempertentangkan tradisi dan sains, tantangan kita adalah memadukan sikap kritis dengan kerendahan hati. Di tengah langit Indonesia yang kian tak menentu, kedewasaan berilmu menjadi syarat utama yakni berpijak pada data dan rasionalitas, sambil tetap menghargai warisan kearifan yang membentuk cara kita memaknai alam. Semoga.

AGUS BARLIANTO, FITRA WIRA HADINATA, SONNI SETIAWAN dan NUR ZAHRO CHARISSA RAHMA

Mahasiswa Program Doktoral IPB University

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular