Saturday, October 5, 2024
spot_img
HomeGagasanKontinuitas Kegaduhan ESDM, Menunggu Ketegasan Presiden

Kontinuitas Kegaduhan ESDM, Menunggu Ketegasan Presiden

images (1)

Sepertinya sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan terus memproduksi kegaduhan semata tanpa bisa menjadi sektor andalan penopang masa depan bangsa. Sektor ESDM adalah hadiah, anugerah besar dan bentuk subsidi langsung dari Tuhan kepada bangsa ini. Tapi aneh, ketika berkah anugerah itu seperti menjadi semacam “kutukan” bagi bangsa ini dan justru menjerumuskan negara ke dalam kubangan lumpur hutang tak terbayarkan lagi. Bangsa ini berubah dari pemilik menjadi bangsa pengemis. Sungguh tragis dan memalukan bagi sejarah yang kemudian akan dibaca oleh anak cucu bangsa ke depan. Sejarah akan mencatat bahwa Indonesia sebuah bangsa yang kaya raya menjadi bangsa pengemis.

Harus kah kita mencari siapa yang salah? Sangat tidak perlu! Sekarang saatnya memperbaiki kerusakan ini menjadi kebaikan bagi bangsa. Sekarang waktunya membayar lunas derita hutang bangsa dengan cara yang tepat dengan cara menegakkan jati diri bangsa, menjadi tuan dan pemilik bangsa ini. Tanpa itu, kita akan menjadi bangsa kuli dan menjadi bangsa pengemis yang hina.

Kegaduhan tak henti sektor ESDM ini sudah terjadi sejak lama dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi dan terakhir ke era rezim Jokowi. Soekarno bersikeras tidak akan menyerahkan Sumber Daya Alam (SDA) ini kepada asing dan membuat gaduh penjatuhan Soekarno dari kursi presiden. Era Soeharto kemudian gaduh menyerahkan SDA kita kepada bangsa asing. Era Habibie tidak terlalu gaduh karena situasi politik lebih dominan. Era Gus Dur tidak terdengar karena hanya sesaat, zaman Mega gaduh penjualan gas murah ke Cina, masa SBY gaduh dengan mafia migas dan sekarang kegaduhan luar biasa di era Jokowi karena gaduhnya bersumber dari jantung pemerintahan sendiri.

Sudirman Said menjadi Menteri ESDM pertama kabinet Jokowi yang kemudian gaduh tak henti dengan Rizal Ramli sang Menko Maritim. Semua ribut entah berebut apa dan untuk siapa. Freeport, Masela, Listrik dan Subsidi BBM menjadi topik utama kegaduhan masa Sudirman Said.

Archandra Tahar sang menteri ESDM kedua Jokowi kemudian memunculkan gaduh republik atas statusnya yang telah menjadi warga negara Amerika Serikat (AS) sejak 2012. Bahkan beberapa menteri dan elit bangsa rela berbohong demi menutupi sebuah kesalahan yang mestinya tidak boleh terjadi pada sebuah bangsa. Tragis!

Sekarang Menteri ESDM dijabat PLT atau Ad Interim oleh Luhut Binsar Panjaitan yang juga menjabat Menko Maritim setelah sebelumnya reposisi dari Menkopolhukam sebelum digeser dari kursi Kepala Kantor Staf Kepresidenan. Kegaduhan pun terus terjadi dengan pernyataan-pernyataan kontroversial seperti keinginan mendudukkan Archandra Tahar kembali menjadi menteri ESDM dan kegaduhan tentang izin rekomendasi ekspor konsentrat Freeport yang dikeluarkan tanggal 9 Agustus 2016 tapi disebut dikeluarkan era Sudirman Said.

Sampai kapan kegaduhan ini akan terjadi? Apakah rebutan rampasan di sektor ini akan terus menjadikan bangsa ini tertinggal jauh dari penyediaan energi masa depan? Sepertinya rezim ini begitu terlena dengan kekuasaan sesaat di tangannya. Presiden terus “berbulan madu” dengan hak prerogratifnya hingga sibuk gonta-ganti kabinet yang sejujurnya itu menandaskan sebuah kegagalan memilih orang yang tepat. Berapa kali lagi Presiden akan terus mengulang reshuffle hak prerogatifnya? Reshuffle yang terjadi hanya karena faktor suka tidak suka dan sedikit sekali pertimbangan kinerjanya. Karena Presiden justru mempertahankan menteri yang gagal di kabinetnya.

Mengapa Presiden butuh waktu yang terlalu lama untuk menetapkan Menteri ESDM yang baru? Apakah bangsa ini tidak lagi memiliki putra-putri yang mampu hingga terus berpikir mendatangkan “menteri impor”? Bangsa ini masih punya banyak sekali sosok yang mampu memimpin kementerian ESDM tanpa harus mencari-carinya dari tumpukan para kaum “murtad nasionalisme” atau “murtad kebangsaan” hanya dengan klaim pintar semata.

Apakah rezim ini ingin menyatakan bahwa tidak ada lagi orang pintar di negara ini? Jika benar demikian, sungguh rezim telah menghina putra-putri bangsanya sendiri dengan menganggap hanya lulusan luar yang pintar dan mampu. Ironi yang dibangun oleh pemerintah dan akan berkembang menjadi kebencian dan suatu saat akan berubah jadi “amuk”. Tidak seharusnya pemerintah merendahkan dan melecehkan putra-putri bangsanya.

Cukupkah pintar menjadi alasan untuk menabraki Undang-Undang (UU)? Cukupkah gelar PhD untuk menafikkan nasionalisme dan mengabaikan nasib masa depan bangsa? Sunggu naif rasanya jika standar pintar hanya dimonopoli oleh rezim ini dan kemudian digunakan sebagai pembenaran melanggar aturan bahkan melecehkan kemampuan putra-putri bangsa ini.

Presiden semestinya menyadari bahwa tantangan ke depan sangatlah berat. Tantangan ke depan bukan lagi sekedar tantangan mencari sumber minyak atau gas yang baru, karena tentu jumlahnya terbatas dan akan segera habis. Indonesia diprediksi akan menghabiskan cadangan minyaknya tidak lebih dari 12 tahun ke depan. Gas masih berkisar 70 tahun dan batubara sekitar 30 tahun lagi. Apakah angka-angka ini tidak membawa kekhawatiran bagi rezim ini ketika cadangan kita habis? Indonesia memang diperkirakan punya cadangan tak tereksplorasi sekitar 23 M barel minyak. Namun cadangan tersebut menyebar di banyak tempat hingga tidak ekonomis untuk dieksplorasi dan akan menjadi harta tak termanfaatkan. Sementara eksplorasi semakin menurun dan tidak menemukan pertumbuhan cadangan minyak.

Apa yang terjadi selepas itu? Satu dasawarsa ke depan kita akan memasuki sebuah era sangat darurat energi. Inilah mestinya titik pangkal bagi Presiden untuk memilih Menteri ESDM baru. Artinya bangsa ini butuh Menteri yang punya visi dan misi menyediakan energi ke masa depan bukan menteri yang hanya bisa bagi-bagi izin di sektor ESDM. Menteri baru harus punya visi kuat bagaimana memanfaatkan cadangan yang ada untuk membangun dan menyediakan energi ke masa depan.

Semoga Presiden segera menetapkan Menteri ESDM baru tanpa harus berpikir ia harus ahli minyak atau ahli gas. Tetapi ia yang visioner, futuristik,  berkarakter kuat dan memiliki nasionalisme tinggi serta keberpihakan yang jelas dan kongkrit kepada negara dan bangsa.

FERDINAND HUTAHEAN

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular