Wednesday, April 23, 2025
spot_img
HomeGagasanKita Terlalu Manja Pada TNI, Profesionalisme Militer Bukan di Ranah Sipil

Kita Terlalu Manja Pada TNI, Profesionalisme Militer Bukan di Ranah Sipil

Tulisan Muhammad Jafar Bua di cakrawarta.com yang berjudul “TNI yang Multifungsi” berusaha memberikan justifikasi bahwa TNI perlu diberikan peran tambahan di luar fungsi pertahanan, dengan alasan efektivitas dalam situasi darurat. Tulisan tersebut menggunakan peristiwa historis—seperti gempa bumi Lisboa tahun 1755, gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004, dan badai Katrina tahun 2005—untuk mendukung argumentasinya bahwa hanya militer yang efektif menangani krisis.

Namun, argumen ini menyederhanakan persoalan secara keliru.

Pada gempa Lisboa 1755, tokoh yang paling menonjol justru seorang sipil bernama Marquis de Pombal, Perdana Menteri Portugal pada saat itu. Dia lah yang mengambil kepemimpinan strategis dalam menanggapi bencana dengan segera memberikan instruksi tegas untuk menyelamatkan korban, memadamkan kebakaran, dan menstabilkan situasi sosial. Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah, “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kuburkan yang meninggal, rawat yang terluka, dan segera bangun kembali kota ini.” Menurut Shrady (2008) dalam bukunya “The Last Day: Wrath, Ruin, and Reason in the Great Lisbon Earthquake of 1755”, tindakan konkret Marquis de Pombal menunjukkan efektivitas kepemimpinan sipil dalam mengelola situasi krisis. Tentu militer turut serta membantu, namun kepemimpinan sipil yang jelas dan efektiflah yang berhasil membawa kota bangkit dari bencana besar tersebut.

Kepemimpinan sipil yang efektif dalam penanggulangan bencana juga tercermin pada upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004. Kuntoro Mangkusubroto, sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, berhasil mengoordinasikan ribuan pemangku kepentingan, termasuk lembaga donor internasional dan nasional, untuk membangun kembali Aceh dan Nias. Di bawah kepemimpinannya, BRR mampu membangun kembali infrastruktur vital, seperti rumah, sekolah, dan fasilitas kesehatan, dalam waktu relatif singkat. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sipil yang kuat dan terorganisir dapat mengelola proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana secara efektif tanpa dominasi peran militer.

Demikian pula pada peristiwa Badai Katrina tahun 2005 di Amerika Serikat. Krisis yang terjadi bukan akibat ketidakmampuan sipil secara intrinsik, melainkan akibat koordinasi buruk antara pemerintah federal, negara bagian, dan lokal. FEMA (Federal Emergency Management Agency) sebagai lembagalah yang dikritik atas respons yang lambat, bukan karena sifat sipilnya, tetapi karena masalah birokrasi dan politik internal. Menariknya, pelajaran dari Katrina justru mendorong penguatan lembaga sipil, bukan menyerahkan tanggung jawab kepada militer. Seperti dijelaskan oleh Brinkley (2006) dalam “The Great Deluge: Hurricane Katrina, New Orleans, and the Mississippi Gulf Coast”, kegagalan FEMA dalam menangani Katrina membawa reformasi kelembagaan yang mengarah pada perbaikan respons sipil terhadap bencana.

Menggunakan kedua peristiwa ini sebagai legitimasi untuk memperluas peran TNI hingga menyentuh ranah sipil sangatlah menyesatkan. Pengalaman Indonesia dengan Dwifungsi TNI pada masa Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa keterlibatan militer di bidang sipil justru cenderung melemahkan institusi sipil, mengancam demokrasi, serta membuka peluang politisasi militer yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. Setelah reformasi tahun 1998, salah satu agenda utama yang diusung adalah penghapusan Dwifungsi TNI. Hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya produk hukum seperti Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang menegaskan peran TNI secara jelas hanya dalam bidang pertahanan, tidak lagi terlibat langsung dalam politik dan urusan sipil. Kebijakan ini dilakukan karena Dwifungsi TNI di masa Orde Baru telah menghasilkan dominasi militer dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial, yang menyebabkan melemahnya lembaga sipil dan berbagai pelanggaran HAM. Oleh karena itu, reformasi militer Indonesia bertujuan untuk mengembalikan militer ke perannya yang murni di bidang pertahanan dan menghindari terulangnya kesalahan sejarah.

Penegasan akan pentingnya reformasi militer juga disampaikan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia kembali mengingatkan bahwa sejak Reformasi 1998, telah ada kesepakatan bahwa tentara tidak boleh lagi terlibat dalam politik praktis. Ia menekankan bahwa demi membangun angkatan bersenjata yang profesional, para prajurit harus kembali ke barak.

“Itu salah satu doktrin yang kita keluarkan dulu, pada saat reformasi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang saya menjadi tim reformasinya, ketua tim reformasinya, kami jalankan. Benar, saya tergugah, terinspirasi, kalau masih menjadi jenderal aktif, misalnya, jangan berpolitik. Kalau mau berpolitik, pensiun,” ujar SBY saat memberikan pengarahan terhadap kader-kader Partai Demokrat di kediamannya di Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (23/2/2025).

Selain itu, dari perspektif internasional, banyak negara demokrasi yang berhasil mempertahankan supremasi sipil atas militer dan justru mengalami stabilitas yang lebih baik. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan negara demokrasi mapan lainnya menjadi contoh di mana hubungan sipil-militer yang jelas menghasilkan efektivitas dalam tata kelola pemerintahan.

Pelanggaran HAM dan regresi demokrasi pada masa Dwifungsi TNI juga patut mendapat perhatian khusus. Banyak kasus pelanggaran HAM berat seperti penculikan aktivis, pembungkaman oposisi, serta dominasi politik militer yang terjadi akibat dari praktik Dwifungsi tersebut. Risiko jangka panjang dari kembalinya Dwifungsi TNI jauh lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya. Dominasi militer di ranah sipil dapat merusak meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi, serta dapat menciptakan ketidakpastian yang berdampak negatif pada investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Bahkan dari internal TNI sendiri, terdapat suara yang menolak kembalinya Dwifungsi, seperti Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo yang secara konsisten mengingatkan pentingnya menjaga profesionalisme TNI dengan tidak kembali mencampuri urusan sipil. Dalam wawancaranya dengan Tempo, ia menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam urusan sipil dan politik adalah bentuk kerinduan terhadap Dwifungsi TNI, yang justru dapat menghambat demokrasi dan supremasi sipil. Ia juga mengkritik ketergantungan yang berlebihan terhadap TNI dalam berbagai aspek kehidupan sipil dengan mengatakan, ‘Kita terlalu manja kepada TNI.’ Menurutnya, di era Orde Baru, TNI terbiasa menyelesaikan berbagai masalah pemerintahan, dan kebiasaan ini terus berlanjut meskipun reformasi sudah mengamanatkan pemisahan peran sipil dan militer. Widjojo menekankan bahwa jika ada instansi sipil yang tidak efektif, solusinya bukan menyerahkan tugas tersebut kepada TNI, melainkan membenahi dan memperkuat institusi sipil agar mampu menjalankan tugasnya secara profesional.

Solusi sesungguhnya bukan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI. Sebaliknya, Indonesia perlu memperkuat kapasitas lembaga sipil seperti BNPB, BPBD, dan BNPT dengan pelatihan khusus, peningkatan kapasitas kelembagaan, penguatan koordinasi, serta pembangunan sistem tanggap darurat yang terintegrasi dan terencana. Selain itu, Indonesia juga perlu memperjelas regulasi dan batas wewenang dalam kolaborasi antara militer dan sipil saat krisis, mendorong transparansi dan akuntabilitas melalui mekanisme pengawasan publik yang efektif, serta melakukan edukasi publik secara luas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi aktif dalam mitigasi bencana.

Membuka ruang kembali untuk Dwifungsi TNI bukan hanya langkah mundur yang mencederai reformasi TNI, tetapi juga ancaman serius terhadap kemajuan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, revisi UU TNI yang mengarah pada multifungsi atau dwifungsi militer harus ditolak demi menjaga prinsip demokrasi, supremasi sipil, serta profesionalisme TNI. Dr. Muhammad Najib Azca, penulis buku “Hegemoni Tentara” dan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, menegaskan perlu ada upaya de-militerisme untuk menyadarkan masyarakat bahwa urusan sipil tidak memerlukan militer. Menurutnya, partai politik harusnya bisa berperan sebagai representasi politik publik dan mempertegas bahwa sektor-sektor sipil tidak perlu diisi oleh militer.

Sebagaimana dikatakan oleh Georges Clemenceau, mantan Perdana Menteri Perancis, ‘Bahkan perang itu terlalu penting untuk diserahkan (sepenuhnya) ke militer.’

 

AGUS SUBIANTO

Peneliti pada Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular