Wednesday, April 23, 2025
spot_img
HomeGagasanTNI yang Multifungsi

TNI yang Multifungsi

Pada tahun 1755, gempa bumi besar mengguncang Lisboa. Tanggal 1 November. Hari itu, ibukota Portugal tak hanya bergetar oleh lindu berkekuatan di atas 8 skala Richter, tetapi juga diterjang tsunami dan dilalap api. Ribuan orang meregang nyawa. Kota yang menjadi pusat perdagangan dan kolonialisme Eropa itu berubah jadi reruntuhan. Dunia gemetar.

Di balik bencana itu, ada kisah lain yang jarang disebut. Perdana Menteri Sebastião de Melo – lebih dikenal sebagai Marquis de Pombal – menyadari bahwa situasi darurat membutuhkan tangan besi. Ia mengerahkan militer untuk menanggulangi bencana: membangun kembali kota, menangkap penjarah, mengendalikan pasokan pangan, dan mengatur pengungsian. Lisboa bangkit bukan karena seruan moral belaka, melainkan karena kehadiran pasukan berseragam yang bergerak cepat dan tegas. Militer dan sipil, dalam satu gerakan yang selaras, menjadi solusi terbaik dalam keadaan darurat.

Bencana selalu memanggil kehadiran negara. Dan dalam situasi yang menuntut kecepatan serta disiplin, sering kali negara memanggil militer. Di Indonesia, diskursus tentang personel aktif TNI di kementerian dan lembaga strategis kerap dibungkus dalam paranoia Orde Baru, seolah semua yang berseragam adalah bayang-bayang masa lalu yang otoriter. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa militer adalah salah satu instrumen yang paling siap dalam menghadapi krisis.

Ambil contoh Amerika Serikat. Ketika Badai Katrina menghantam New Orleans pada 2005, otoritas sipil kewalahan. Chaos merajalela. Kota tenggelam dalam lumpur dan anarki. Siapa yang akhirnya menertibkan? National Guard dan tentara reguler. Dalam banyak kasus, sipil butuh militer bukan untuk perang, tetapi untuk ketertiban. Bahkan di negara yang mendewakan supremasi sipil sekalipun, militer tetap punya peran dalam situasi darurat. Dan mereka tidak bekerja sendiri. Koordinasi dengan pemerintah lokal, tenaga kesehatan, dan relawan kemanusiaan menjadikan operasi penyelamatan lebih efektif.

Indonesia pun serupa. Ketika tsunami 2004 menyapu Aceh, siapa yang pertama membuka akses ke daerah bencana? Siapa yang menerobos reruntuhan dan memastikan bantuan mencapai korban? Tentara. Bukan pegawai negeri sipil, bukan LSM internasional, bukan pula birokrat dengan dasi dan agenda rapat. Saat rumah sakit lumpuh dan jalan raya menjadi kuburan, helikopter TNI yang membelah udara. Bukan wacana, melainkan kerja nyata. Dalam situasi seperti ini, kolaborasi antara militer dan sipil menjadi satu-satunya jawaban.

Tapi anehnya, ketika wacana penempatan personel TNI di kementerian atau lembaga strategis muncul, yang berkembang adalah ketakutan. Seolah-olah sebuah kursi di birokrasi adalah benteng demokrasi yang harus steril dari mereka yang pernah memegang senjata. Padahal, ada posisi-posisi yang memang lebih baik diisi oleh mereka yang terlatih dalam situasi darurat.

Coba kita pikirkan lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Apa yang lebih dibutuhkan? Seorang teknokrat dengan pemahaman administratif, atau seorang prajurit dengan pengalaman di lapangan? Apakah pemimpin yang mengelola mitigasi bencana harus lebih mahir dalam membuat laporan atau lebih sigap dalam membuat keputusan di tengah situasi genting?

Beberapa negara lain telah lebih dulu memahami hal ini. Jepang, misalnya, memiliki Pasukan Bela Diri (JSDF-Japan Self Defence Force) yang secara rutin dilibatkan dalam penanganan bencana. Setiap kali gempa besar mengguncang atau tsunami datang, pasukan ini bergerak lebih cepat daripada birokrasi. Dalam banyak kasus, mereka justru lebih dipercaya oleh masyarakat karena efisiensi dan kedisiplinan mereka dalam bertindak. Tapi mereka juga tidak bekerja sendirian. Birokrat, tenaga medis, hingga kelompok masyarakat sipil turut serta dalam strategi pemulihan.

Begitu pula di Singapura, negara kecil yang memahami bahwa keamanan dan ketertiban adalah fondasi dari segalanya. Di sana, banyak mantan atau bahkan perwira aktif yang diberi posisi strategis di kementerian atau lembaga vital. Mereka bukan ancaman bagi demokrasi. Mereka justru benteng pertahanan terhadap ketidakpastian dan krisis. Dalam setiap operasi besar yang melibatkan krisis nasional, mereka bekerja bersama dengan otoritas sipil, memastikan bahwa tindakan yang diambil bukan hanya cepat, tetapi juga terkoordinasi dengan baik. Mereka punya SCDF (Singapore Civil Defence Force), Pasukan Pertahanan Sipil Singapura, yang melibatkan unsur kepolisian, pemadam kebakaran, tim pencarian dan pertolongan serta tim medis.

Dan sebab tak semua permasalahan bisa diselesaikan dengan pendekatan militeristik, integrasi antara personel TNI aktif dan tenaga sipil menjadi kunci. Dalam banyak situasi, sinergi antara keduanya menghasilkan solusi yang lebih efektif dibandingkan dominasi salah satu pihak.

Lihatlah bagaimana hal ini dipraktikan di Jepang saat gempa besar melanda Tōhoku pada 2011. JSDF bergerak cepat, membuka akses, membangun infrastruktur darurat, dan mendistribusikan bantuan. Namun, mereka tidak bekerja sendiri. Pemerintah daerah, relawan, dan organisasi internasional turut serta dalam koordinasi. Militer memberikan stabilitas, sementara sipil menghadirkan fleksibilitas dan pendekatan berbasis komunitas.

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengadopsi model serupa. TNI, dengan kedisiplinan dan struktur komandonya, dapat menjadi tulang punggung dalam penanganan krisis. Sementara itu, unsur sipil seperti akademisi, pekerja kemanusiaan, dan birokrat tetap memegang peran penting dalam kebijakan jangka panjang serta aspek sosial kemanusiaan.

Jika diterapkan dengan benar, penempatan personel TNI di lembaga strategis bukan hanya soal siapa yang memegang kendali, tetapi bagaimana negara merespons krisis dengan cara yang lebih efektif. Pembagian peran yang jelas, mekanisme kontrol yang transparan, serta keterlibatan masyarakat sipil akan memastikan bahwa kehadiran militer dalam birokrasi tidak menjadi ancaman, melainkan solusi.

Marquis de Pombal tak akan bisa menyelamatkan Lisboa tanpa militer. Amerika Serikat tak akan bisa memulihkan New Orleans tanpa tentara. Dan Indonesia tak akan bisa menghadapi bencana tanpa mereka yang terlatih untuk menghadapi situasi terburuk. Tapi dalam setiap skenario, keberhasilan bukan hanya ditentukan oleh siapa yang memimpin, tetapi juga oleh bagaimana mereka bekerja sama. Karena dalam situasi darurat—entah itu bencana, terorisme, atau krisis kemanusiaan—tidak ada solusi yang lebih baik daripada kolaborasi militer dan sipil.

Ketika krisis datang, yang kita butuhkan bukanlah prosedur, tetapi tindakan. Dan dalam tindakan, ketepatan waktu bisa menjadi batas antara hidup dan mati. Namun, tindakan yang terbaik bukan hanya berasal dari satu pihak. Di dunia yang semakin kompleks, keberhasilan dalam menghadapi darurat adalah tentang bagaimana militer dan sipil bisa berjalan beriringan, melengkapi, bukan menggantikan satu sama lain.

 

MUHAMMAD JAFAR BUA

Tenaga Ahli Anggota DPR RI, alumni Asia Journalism Fellowship (AJF) Singapura 2019

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular