
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Dalam pertemuan atau silaturahim di Tebuireng, Sabtu (6/12/2025), langit Jombang tampak teduh ketika KH Said Aqil Siroj membuka percakapan dengan nada yang pelan namun mantap. Mantan Ketua Umum PBNU dua periode tersebut tidak sedang menghardik siapa pun, namun kalimat-kalimat yang keluar dari lisannya terasa seperti garis tegas yang membelah kabut. “Keberkahan NU itu dari ketulusan, dari amanah, dari keilmuan. Bukan dari proyek tambang,” ujarnya. Hening sejenak menyertai ucapannya, sebuah jeda yang justru menegaskan beratnya peringatan itu.
Isu pemberian izin tambang kepada organisasi masyarakat -termasuk NU- tengah menjadi arus kuat yang menyeret banyak percakapan di ruang publik. Beberapa melihatnya sebagai peluang ekonomi baru, sebagian lain merasa hal itu berpotensi mengaburkan wajah asli organisasi keagamaan. Di tengah riuh itu, suara Kiai Said hadir seperti kompas yang mengingatkan kembali arah perjalanan NU selama hampir satu abad. Ia merinci lima bahaya besar yang, menurutnya, akan muncul bila NU nekat “menambang”. Ia menyebut kemungkinan konflik internal yang kian meruncing, ketika jabatan dan akses ekonomi membuka ruang bagi sikut-menyikut di antara pengurus. Ia mengingatkan bahwa warga NU di akar rumput pun bisa terbelah oleh perbedaan sikap, menciptakan polarisasi yang menggerus keteduhan sosial.
Baginya, risiko citra buruk tak kalah besar. “Ormas agama kok ngeruk bumi?” adalah pertanyaan yang bisa muncul dan mengaburkan reputasi NU sebagai penjaga moderasi dan kedamaian. Tambang, dalam pandangannya, bukan hanya urusan teknis, tetapi dunia penuh intrik yang dapat menyeret NU ke pusaran kepentingan bisnis dan politik, menjauhkan organisasi ini dari sumber-sumber spiritual yang selama ini menjadi penopang utamanya. Ia menyinggung kemungkinan terburuk yakni hilangnya fokus NU terhadap tugas utamanya mulai dari pendidikan, dakwah, hingga kesehatan, karena energi organisasi terkuras untuk mengurus konsesi, alat berat, dan urusan perizinan.
Di sela penjelasan itu, Kiai Said berkali-kali kembali kepada satu kata yang ia tekankan yakni khittah. NU, menurutnya, tumbuh besar bukan karena lapisan mineral di perut bumi, melainkan karena kekuatan manusianya yakni para kiai, santri, guru, relawan sosial dan tentunya para jam’iyah atau warga NU, yang bekerja dengan tulus tanpa hitung untung-rugi. “Kemajuan warga Nahdliyin tidak ditentukan oleh seberapa banyak nikel atau batu bara yang digali,” ucapnya, “melainkan oleh seberapa banyak manusia unggul yang berhasil kita lahirkan melalui pesantren dan pendidikan.” imbuhnya.
Karena itu, ia menyarankan NU tidak larut dalam godaan proyek besar yang bisa mengubah rumah besar umat menjadi semacam perusahaan ekstraktif. Ia berkelakar getir, “Jangan sampai NU berubah menjadi PT Pertambangan Nahdlatul Ulama.” Kalimat itu memang dibungkus humor, tetapi terasa memuat keprihatinan yang dalam, sebuah ajakan agar NU tetap bergeming pada jati dirinya.
Pada akhirnya, seluruh peringatan tersebut dirangkum Kiai Said sebagai sebuah rem darurat, sebuah hentakan moral agar organisasi tidak tergelincir oleh godaan sesaat. Bagi kiai bersahaja yang telah menghabiskan hidupnya di jalur dakwah dan pendidikan ini, masa depan NU tidak boleh dipertaruhkan pada proyek yang rawan menimbulkan kegaduhan. “Rumah besar umat harus dijaga,” tutupnya. “Rezeki itu bukan dari tambang, tapi dari berkah perjuangan.” tambahnya dengan nada tegas.
Kata-katanya mengalir tenang, namun gema pesannya bergaung jauh ke seluruh penjuru Nahdliyin, seakan mengingatkan bahwa ketika jalan mulai berbelok, selalu ada suara dari para sesepuh yang memanggil kita pulang ke arah yang benar. Semoga.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



