Wednesday, April 23, 2025
spot_img
HomeGagasanParanoia Militer: Sebuah Refleksi

Paranoia Militer: Sebuah Refleksi

Sejarah adalah guru yang sering disalahpahami. Konon, di dalamnya ada tragedi yang berulang, ketakutan yang diwariskan, dan paranoia yang menjadi hantu bagi generasi berikutnya. Salah satu paranoia itu adalah ketakutan bahwa militer akan merebut kembali supremasi sipil. Setiap kali seorang perwira aktif dalam struktur birokrasi sipil, suara-suara ketakutan pun muncul. “Apakah ini Langkah awal menuju rezim militer?” Pertanyaan itu berulang seperti mantra bertuah.

Tapi, benarkah kita mesti takut?

Indonesia adalah republik. Tidak ada lagi ruang bagi kepemimpinan militer di pucuk pemerintahan. Ini bukan asumsi, melainkan konsensus. Sejak reformasi, TNI telah kembali ke baraknya. Dwi fungsi ABRI dihapuskan, supremasi sipil ditegakkan. Jenderal tidak lagi bisa menjadi presiden hanya karena seragamnya. Kita hidup dalam sistem yang berbeda dari yang pernah ada beberapa dekade lalu.

Namun, paranoia tetap ada. Seperti kisah-kisah Eropa abad pertengahan, ketakutan akan penaklukan sering kali lebih besar daripada ancaman itu sendiri. Kota-kota di Italia membangun benteng-benteng tinggi karena takut akan invasi yang mungkin tidak pernah datang. Raja-raja di Prancis merancang persekutuan yang rumit untuk menghadapi musuh yang mungkin hanya ada dalam bayangan mereka sendiri. Sama seperti itu, kita terus menyusun narasi tentang ancaman militerisme, meskipun tidak ada tanda-tanda nyata bahwa militer ingin merebut kekuasaan.

Di banyak negara, keterlibatan militer dalam pemerintahan adalah hal lazim. Amerika Serikat memiliki menteri pertahanan dari kalangan eks militer. Prancis dan Inggris juga memberi ruang bagi jenderal dalam perencanaan strategis negara. Tapi di Indonesia, ketika seorang perwira diangkat untuk posisi tertentu, kita segera berseru: “Demokrasi dalam bahaya!”

Padahal, sebagian besar perwira yang ditempatkan di kementerian atau lembaga hanya menjalankan tugas teknokratis. Mereka bukan panglima perang yang ingin menaklukkan ‘kerajaan sipil’. Sebagian besar dari mereka bahkan lebih nyaman dengan taktik dan strategi ketimbang urusan administrasi yang berbelit-belit. Mereka kerap misuh-misuh saat diangkat pada jabatan sipil, sebab mereka lebih memilih berada di antara prajurit, daripada duduk di antara tumpukan dokumen, Namun, seperti paranoia di Eropa abad pertengahan yang melihat setiap kapal asing sebagai ancaman perang, kita melihat setiap jenderal sebagai calon diktator.

Kita bisa belajar dari sejarah Eropa. Di abad pertengahan, kekuasaan sering kali berpindah tangan melalui penaklukan. William Sang Penakluk merebut Inggris dengan pedang. Raja-raja Prancis berperang untuk menyatukan wilayah mereka. Kekaisaran Romawi Suci terpecah belah oleh perang suksesi. Ketika seorang jenderal memiliki pasukan, ia sering kali memiliki ambisi untuk berkuasa.

Tapi Indonesia bukan Eropa abad pertengahan. TNI bukan pasukan bayaran yang menunggu kesempatan untuk merebut istana. Reformasi telah membangun dinding yang kokoh antara militer dan politik. Kita bukan lagi republik yang goyah, seperti kota-kota Italia yang mudah jatuh ke tangan condottieri, komandan legiun asing yang sohor itu. Kita adalah negara dengan konstitusi yang jelas, dengan sistem yang mengatur keseimbangan antara sipil dan militer.

Namun, paranoia tetap ada. Kita takut akan sesuatu yang hampir mustahil terjadi. Kita takut pada kudeta yang tidak memiliki panggung. Kita khawatir pada bayang-bayang yang sudah lama hilang.

Ketakutan terhadap militerisme bisa menjadi senjata politik. Seperti dalam sejarah Eropa, ketakutan akan invasi sering kali dimanfaatkan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka sendiri. Di Prancis abad ke-17, raja-raja menggunakan ancaman perang untuk memperkuat otoritas mereka. Di Italia abad pertengahan, ketakutan akan penaklukan membuat rakyat rela menyerahkan kebebasan mereka kepada seorang tiran, dengan harapan bisa mendapatkan perlindungan.

Di Indonesia, ketakutan yang sama bisa digunakan untuk menyingkirkan siapa pun yang dianggap sebagai ancaman. Tuduhan “militerisme” bisa menjadi cara untuk mendiskreditkan lawan politik. Setiap kebijakan yang melibatkan TNI bisa dianggap sebagai langkah mundur menuju otoritarianisme, meskipun tidak ada bukti nyata yang mendukung klaim itu.

Padahal, yang lebih penting bukanlah siapa yang menduduki jabatan tertentu, tetapi bagaimana sistem bekerja. Demokrasi bukan hanya soal memastikan bahwa tidak ada jenderal di pemerintahan. Demokrasi adalah soal transparansi, akuntabilitas, dan keseimbangan kekuasaan. Jika semua itu tetap terjaga, lalu di mana letak ancamannya?

Eropa abad pertengahan dipenuhi dengan benteng-benteng yang akhirnya kosong, dibangun karena ketakutan yang berlebihan. Kita tidak perlu melakukan hal yang sama. Paranoia hanya akan membuat kita kehilangan perspektif yang lebih besar. Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang takut pada bayang-bayangnya sendiri. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang percaya pada institusinya, percaya bahwa ia cukup kuat untuk menghadapi tantangan apa pun.

TNI tidak sedang merancang kudeta. Mereka yang memahami sumpah prajurit tahu bahwa kekuatan bukan untuk berkuasa, tetapi untuk menjaga. Yang lebih berbahaya bagi demokrasi bukanlah kehadiran militer dalam birokrasi, tetapi ketakutan berlebihan yang membuat kita kehilangan keyakinan pada sistem yang telah kita bangun sendiri. Dan kita anggap paripurna. ***

 

JAFAR G BUA

Tenaga Ahli Anggota DPR RI, alumnus Asia Journalism Fellowship (AJF) Singapura 2019

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular