Friday, March 29, 2024
HomeBerita AllKetum DPP BAPERA: Indonesia Perlu Banyak Narator Imajinatif!

Ketum DPP BAPERA: Indonesia Perlu Banyak Narator Imajinatif!

Ketua Umum DPP BAPERA, Fahd El-Fouz A Rafiq dalam suatu acara BAPERA di Sulawesi pada 21 Maret 2023 lalu. (foto: isitmewa)

JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Barisan Pemuda Nusantara (Ketum DPP BAPERA) Fahd El fouz A Rafiq memberikan gagasan dimana ia bisa digunakan sebagai alat atau tools mengenai alangkah baiknya apabila negeri ini memproduksi narator-narator yang imajinatif untuk memancing sense pada hal hal terkait yang terkait dengan kemajuan sebuah negeri.

Menurutnya, narator imajinatif ini salah satu tujuannya adalah memunculkan perilaku yang disertai aspek “upaya” subjektif dengan tujuan membawa kondisi situasional atau isi kenyataan yang lebih dekat dengan keadaan ideal atau yang ditetapkan secara normatif.

“Kritik sosial yang dibarengi dengan solusi dan disampaikan secara santun menurut kultur di wilayah tersebut akan lebih diterima dibandingkan dengan mengkritik secara sporadis atas dasar kebencian dan ketidaksukaan. Tujuan kritik sosial adalah agar masalah sosial yang terjadi dapat diatasi sehingga keadaan menjadi normal dan harmonis terwujud kembali,” ujarnya pada media ini, Jumat (24/3/2023).

Fahd juga mengatakan bahwa terdapat dua tipe narasi menurut Goldsterin yang biasa digunakan yaitu narasi terbatas dan tidak terbatas.

“Narasi tidak terbatas dimana narator tidak hadir dalam cerita namun mendominasi plot, tokohnya, pengetahuannya tentang segala hal tidak terbatas. Narator mampu menyajikan pada pembaca mengenai pikiran-pikiran rahasia atau bahkan yang tidak disadari oleh para tokoh,” paparnya.

Fahd menerangkan bahwa ada tiga perspektif dalam kajian sosiologi sastra. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.

Sementara itu, yang kedua adalah perspektif biografis yaitu peneliti menganalisis pengarang dan ketiga adalah  perspektif reseptif dimana peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

“Karya sastra merupakan cerminan dari masyarakat. Artinya, sastra yang merupakan hasil karya pengarang yang hidup di masyarakat melukiskan masalah dan peristiwa yang memang terjadi. Masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat dikurangi atau bahkan diatasi dengan berbagai cara, termasuk dengan mengemukakan kritik,” tukasnya.

Mantan Ketum PP AMPG menambahkan, Indonesia narasinya keren tapi naratornya kurang cakap menyampaikannya.

“Karena sejatinya, narator butuh penjiwaan pada apa yang dibacanya, jadi meramu kepentingan ilmu alam dengan membuat narator sebanyak lebih baik. Indonesia butuh narator hebat,” katanya.

Fahd menyebutkan bahwa Soekarno, Hitler, Barack Obama adalah narator imajinatif kelas dunia.

“Kita tidak mendewakan sebuah cara akan tetapi hal ini lebih mengena karena memainkan “rasa”. Sekali lagi ya pidato itu tidak menjawab segalanya. Ujung-ujungnya harus bisa dikorelasikan ke aksi,” tandasnya.

Menurut Fahd, di luar negeri orang lebih suka bicara soal Singapura, India dan khususnya Tiongkok.

“Mereka seolah harus diperbincangkan karena pesatnya kemajuan yang melampui zamannya. Singapura tetangga Indonesia ini jadi topik pembicaraaan karena negara kota yang terangnya melebihi negara lain. Indonesia yang berpenduduk hampir 300 juta ini harusnya jadi bahan perbincangan dunia,” ujarnya.

Namun, menurut Fahd, faktanya, Indonesia tidak menjadi perbincangan dunia pasca era reformasi.

“Karenanya, bayangkan jika Indonesia punya 100 narator. Cepat atau lambat publik internasional akan membicarakan hal-hal positifnya,” katanya lagi.

Urgensi Membaca Bagi Narator

Fahd mengatakan bahwa membudayakan membaca itu penting. Sayangnya, di Indonesia, budaya yang kuat adalah Budaya Pitutur bukan membaca, jadi untuk mengantarkan ke arah membaca berimajinasi itu yang penting.

“Jadi hal awal yang perlu dilakukan adalah dibacakan. Makanya wajar konten-konten video lebih suka membacakan dan lebih banyak penontonnya dibanding yang tidak,” ungkapnya.

Selain itu, menurut Fahd, langkah yang perlu menjadi perhatian adalah kurang banyaknya buku-buku berkualitas.

“Jika dikatakan orang Indonesia kurang suka baca si nggak bener juga. Karena faktanya, jika ada buku bagus yang berkualitas laku keras kok. Hanya perbedaannya toko buku di Indonesia dengan Singapura adalah referensinya dan ada guide-nya apa yang menjadi bacaan favorit kita,” paparnya.

Fahd menilai bahwa manifestasi kemalasan dalam membaca harus diprovokasi terlebih dahulu untuk membaca.

“Secara tidak langsung kita harus memprovokasi mereka untuk membaca. Di satu sisi, kalo orang yang sudah bisa naik roda 2 ke roda 4 perlu dituntun. Harus ada guide. Karena jarang sekali orang yang terbentuk secara nature akan tetapi secara nurture,” pungkas pria yang juga Ketua DPP Bidang Ormas Partai Golkar tersebut.

(asw/bus)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular