
Dalam dunia politik Indonesia hari ini, seringkali yang menang bukanlah mereka yang paling bermoral, paling jujur, atau paling kompeten. Yang menang adalah mereka yang punya akses, baik kepada kekuasaan, uang, atau orang dalam. Anak muda zaman sekarang menyebutnya dengan satu istilah yang sedang ngetren: Ordal.
Ya, Ordal, atau singkatan dari “orang dalam”, bukan cuma realitas sehari-hari dalam dunia kerja, pendidikan, dan sosial. Ia telah menjadi napas utama dalam cara kerja politik kita. Politik yang dulu dibangun atas idealisme, kini lebih mirip arena kompetisi pragmatis di mana koneksi menentukan siapa yang naik dan siapa yang digusur.
Kalau kamu pernah main Mobile Legends, kamu pasti tahu betul bagaimana rasanya saat satu tim isinya teman deket sang kapten, walaupun jagoannya biasa aja. Rasanya? Ya seperti lihat calon menteri atau pejabat publik yang naik jabatan hanya karena dekat dengan elite politik.
Politik Layaknya Mobile Legends
Bayangkan kamu masuk lobby Mobile Legends, siap tanding ranked. Tapi begitu masuk draft pick, sang kapten auto-pick semua temannya, padahal kamu punya win rate 80% sebagai tank dan tahu betul meta terbaru. Mereka pilih yang “dekat”, bukan yang tepat. Hasilnya? Kalah telak. Padahal kamu tahu, tim bisa menang kalau dibangun atas dasar kemampuan, bukan kedekatan.
Beginilah politik kita hari ini. Ordal telah menjadi kapten tim, bukan meritokrasi. Seseorang bisa naik ke posisi penting bukan karena visi-misinya cemerlang, tapi karena dia anak siapa, teman siapa, atau pernah satu barisan saat kampanye.
Laporan Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 64% masyarakat menilai pemilihan pejabat publik lebih ditentukan oleh kedekatan dengan elite partai ketimbang kompetensi. Sementara itu, laporan KPK (2023) menyebut praktik nepotisme dan patronase menjadi salah satu faktor penghambat reformasi birokrasi dan penguatan tata kelola pemerintahan.
Kenapa Politik Ordal Sedominan Itu?
Fenomena dominasi Ordal dalam politik tidak terjadi dalam semalam. Ada akar budaya feodal yang kuat di baliknya. Dalam studi Haryanto (2020, UGM) tentang politik patronase, disebutkan bahwa warisan kultur kerajaan Nusantara memengaruhi logika sosial masyarakat: menghormati yang tua, tunduk pada atasan, dan loyal pada pemimpin, meski secara kompetensi tidak layak.
Demokrasi elektoral kita sejak 1998 belum berhasil mengikis budaya ini. Sebaliknya, sistem politik kita justru mereproduksi oligarki dan patron-klien. Partai politik belum menjadi lembaga kaderisasi yang meritokratis, melainkan klub eksklusif dengan biaya masuk yang tinggi.
Menurut riset Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (2022), biaya pencalonan kepala daerah dapat mencapai 20-50 miliar rupiah. Akibatnya, hanya mereka yang punya jaringan dan modal yang bisa maju. Anak muda? Lebih sering jadi suporter, bukan pemain.
Apakah Politik Moral Masih Punya Ruang?
Ini seperti menanyakan: apakah di Mobile Legends masih ada pemain jujur, gak toxic, dan mau kerja sama demi tim? Jawabannya tentu masih ada. Tapi mereka langka, dan sering kalah karena sistemnya tidak mendukung.
Begitu pula dalam politik. Masih banyak politisi muda idealis, aktivis kampus, atau birokrat jujur yang mencoba bermain bersih. Namun, data dari Perludem (2023) menunjukkan hanya 12% anggota DPR berusia di bawah 40 tahun, dan mayoritas berasal dari dinasti politik atau elite partai.
Namun bukan berarti tidak ada harapan. Justru karena kenyataan ini pahit, maka perlu ada gerakan dari anak muda untuk mengembalikan etika ke tengah panggung politik. Seperti fitur “report” di game, dalam kehidupan nyata pun anak muda bisa bersuara, mengkritik, memilih dengan sadar, dan ikut membangun sistem yang lebih adil.
Mobile Legends dan Pelajaran Kekuasaan
Mobile Legends adalah miniatur dari politik. Ada draft pick (strategi), rotasi (distribusi kekuasaan), jungling (kerja di balik layar), push tower (pengaruh kebijakan), bahkan war besar (koalisi vs oposisi). Kita belajar bahwa kemenangan bukan hanya soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling paham situasi dan bisa bekerja sama.
Namun, seperti politik, game ini juga rentan terhadap “main belakang”. Kadang ada player yang AFK, nyampah kill, atau cuma ngejar MVP. Sama seperti di politik: ada yang hanya mencari panggung, mengejar kekuasaan, atau sekadar ikut karena sudah dekat dengan penguasa.
Laporan dari CSIS Youth Perception Survey 2023 menunjukkan bahwa 78% anak muda merasa frustrasi dengan politik karena terlalu banyak elite yang “cari panggung”, bukan kerja nyata.
Harapan Itu Masih Ada, Tapi Harus Diperjuangkan
Setiap pemilu, banyak anak muda golput karena merasa “semua sama saja”. Data KPU (2024) mencatat bahwa partisipasi pemilih muda menurun 6% dibandingkan 2019. Tapi kalau kita menyerah, sistem ini makin dikuasai oleh ordal dan oportunis.
Sekarang saatnya anak muda ambil peran. Bukan hanya penonton, tapi pemain. Belajar dari game: kenali peta, pelajari musuh, susun strategi, bangun tim kuat. Kalau kamu bisa push rank sampai Mythic, kenapa tidak bisa push perubahan sosial?
Tentu, melawan ordal itu tidak mudah. Tapi seperti naik rank, kamu gak bisa sendiri. Butuh komunitas, literasi politik, dan konsistensi. Butuh perubahan dari sistem, tapi juga dari budaya.
Dan yang paling penting, jangan lelah jadi player yang jujur dan kerja keras. Bersuaralah. Tapi bersuaralah dengan presisi, bukan sekadar sensasi. Jadilah voice, bukan noise. Dan pastikan komunitasmu punya literasi untuk menyuarakan substansi.
Jadilah Jungler yang Visioner
Dalam game, jungler yang baik bukan cuma kuat farming, tapi tahu kapan gank, kapan mundur, dan kapan bantu tim. Kita butuh lebih banyak jungler macam ini di politik yakni orang yang kerja dalam diam, tapi berdampak besar. Bukan yang cuma pamer skin atau spam chat.
Dari moral ke ordal, dari etika ke pragmatisme, semuanya pilihan. Tapi kalau kita ingin perubahan, maka kita harus memilih untuk jadi bagian dari solusi.
Dan siapa tahu, someday, kamu bukan cuma Mythic di game, tapi juga pemimpin sejati di dunia nyata. Semoga.
Referensi
- KPK. (2023). Laporan Tahunan KPK 2023. www.kpk.go.id
- Indikator Politik Indonesia. (2024). Survei Nasional: Persepsi Publik terhadap Integritas Pejabat Publik.
- Haryanto, A. (2020). Politik Patronase di Indonesia: Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah. Universitas Gadjah Mada.
- Perludem. (2023). Proyeksi Politik dan Keterlibatan Generasi Muda dalam Pemilu.
- CSIS Indonesia. (2023). Youth Perception Survey: Generasi Z dan Politik.
- Kemitraan. (2022). Biaya Politik dan Hambatan Reformasi Politik di Indonesia.
- KPU RI. (2024). Data Partisipasi Pemilu Nasional Berdasarkan Kelompok Usia.
BUSTOMI MENGGUGAT
Direktur Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS) Surabaya



