Wednesday, April 24, 2024
HomeSains TeknologiKesehatanKetika Teman Alami Gangguan Psikologi, Pakar: Usahakan Tak Menggurui!

Ketika Teman Alami Gangguan Psikologi, Pakar: Usahakan Tak Menggurui!

Ilustrasi. (foto: shutterstock photo)

SURABAYA – Angka kasus bunuh diri di Indonesia terbilang cukup tinggi. Banyak faktor yang melatarbelakangi orang-orang melakukan aksi nekat itu. Salah satunya karena pemikiran korban yang merasa bahwa tidak ada jalan keluar untuk setiap masalah yang dihadapi dan bunuh diri lah cara mengakhirinya.

Bunuh diri menjadi fenomena yang banyak dibicarakan. Pasalnya orang-orang akan beranggapan bahwa korban adalah orang yang lemah dan pecundang. Namun, pada dasarnya lingkungan memiliki peran penting dalam mendukung pencegahan bunuh diri di dunia.

Menurut pakar psikologi Atika Dian Ariana, S.Psi., M.Sc., orang-orang yang sedang memiliki mental tidak baik-baik saja biasanya akan terjadi perubahan kognitif dalam pola berpikir mulai dari sulit berkonsentrasi, mudah lupa, dan ceroboh.

Selain itu, terjadi perubahan afektif menjadi lebih sensitif. Misalnya, mudah marah, mudah menangis, dan mudah tersinggung. Dan, yang terakhir adalah perubahan perilaku seperti tiba-tiba menarik diri dan tidak banyak melakukan interaksi dengan teman yang sebelumnya dekat dengannya.

“Perubahan tiga area itu yang setidaknya bisa kita amati dan kemudian kita bisa dekati. Kalau ini pada anak sekolah atau kuliah juga bisa terlihat dari menurunnya performa akademik,” ujar Atika pada media ini, Selasa (29/11/2022).

Karena itu, menurut Atika, penting bagi masyarakat untuk sadar dan peka terhadap perubahan orang-orang di sekitar dengan cara tidak abai dan tetap peduli kepada orang lain. Langkah-langkah tersebut merupakan awal terciptanya cegah aksi bunuh diri.

“Orang-orang yang memiliki gangguan kesehatan mental akan merasa aman terhadap lingkungan yang sehat di sekitarnya,” imbuhnya.

Khusus mahasiswa, menurut Atika, tidak hanya dibekali segudang ilmu, namun diharapkan menjadi agent of change di dalam masyarakat. Mahasiswa harus memiliki jiwa sosial yang tinggi karena sesuai dengan salah satu tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian. Sama halnya dengan kesehatan mental di dalam masyarakat, mahasiswa memiliki peran penting untuk mendukung pencegahan bunuh diri di dunia.

Salah satu cara mahasiswa membantu terjalinnya kesehatan mental adalah dengan memberikan dukungan psikologis awal. Prinsipnya ada tiga, yaitu memperhatikan atau mengamati (look), mendengarkan (listen), dan mendampingi (link).

“Ada beberapa hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan kepada dia, misalnya ketika dia menangis kita ambilkan. Itu adalah langkah pertama dulu. Jadi, kalau ada orang menangis jangan ditanya dulu kenapa. Perhatikan kebutuhan yang paling dasar yang bisa kita bantu,” paparnya.

Cara sederhana yang bisa dibagikan untuk orang sekitar merupakan langkah awal pertolongan sebagai orang awam. Setelah look adalah listen yang bersifat penawaran. Artinya, mendengarkan itu adalah langkah yang bisa diberikan ketika teman mau bercerita. Dan tidak boleh ada pemaksaan karena akan membuat dia merasa tidak nyaman.

“Dan yang terakhir adalah link, yaitu menghubungkan pihak-pihak tertentu untuk bisa membantu teman kita tersebut. Tidak harus ke profesional, seperti bisa diarahkan ke help center. Atau bisa juga dilakukan dengan memberikan info layanan kesehatan mental,” saran Atika.

Atikan menegaskan bahwa setiap orang memiliki pemikiran, pengalaman, harapan, dan ketahanan yang berbeda. Mencoba memahami dari sudut pandang korban bagaimana dia memaknai masalah yang terjadi sehingga tidak bersifat  judgemental.

“Jauhi respons menghakimi, seperti kalimat ‘kamu kurang bersyukur!’. Itu akan membuatnya merasa bersalah. Selain itu, kita bisa memberikan validasi emosinya. Contohnya dengan kata-kata seperti aku paham itu berat buat kamu,” katanya.

Selain itu, Atika meminta lingkungan sekitar orang-orang dengan gangguan mental untuk menunjukkan mereka bisa menjadi yang pendengar dengan menyimak dan menunjukkan dengan cara mengulang kembali apa yang sudah disampaikan sebelumnya.

“Berikan penekanan hingga menunjukkan bahwa kamu menyimak setiap ceritanya. Sehingga orang yang bercerita merasa lebih nyaman karena mendapat perhatian yang utuh,” tukasnya.

Menurut Atika, memberikan pendapat merupakan salah satu usaha membangun jembatan emosional yang bersangkutan. Sehingga sebisa mungkin kita menggunakan bahasa yang tidak menghakimi agar bisa diterima dan disesuaikan dengan posisi orang tersebut.

“Apabila yang curhat ini adalah teman dekat kita, gunakan bahasa yang biasa digunakan atau sesuai yang biasa dilakukan. Artinya tidak perlu menggunakan kata-kata yang menunjukan bahwa kita lebih mengerti terhadap persoalan ini daripada dia,” ujarnya penuh saran.

Selain itu, Atika mengharapkan lingkungan sekitar juga perlu mengenal karakter orang-orang yang curhat dimana beberapa orang hanya menyampaikan unek-uneknya saja sehingga tak harus menyampaikan pendapat atau solusi kita kecuali bila diminta.

“Dalam memberikan pendapat yang terpenting adalah jangan memberikan harapan palsu. Terutama penggunaan kalimat ‘Semua akan baik-baik saja’ pada beberapa permasalahan berat. Namun mencoba membuat pandangan yang objektif dari sudut pandang kita sehingga teman dengan gangguan mental tersebut akan merasa lebih nyaman dan tenang,” pungkas dosen psikologi UNiversitas airlangga tersebut.

(pkip/bus/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular