
SIDOARJO, CAKRAWARTA.com – Kebijakan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang memicu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati menuai kritik dari sejumlah pihak. Ekonom Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Tofan Tri Nugroho, menilai pemerintah daerah semestinya mengambil langkah yang lebih bijak agar kebijakan tersebut tidak membebani masyarakat kecil.
Menurut Tofan, gejolak di Pati tidak hanya dipicu oleh dinamika politik antara bupati dan warga, tetapi juga oleh pola penyesuaian NJOP yang dinilai memberatkan.
“Biasanya NJOP itu nilainya sekitar sepertiga dari harga pasar. Tapi karena kabarnya dana transfer dari APBN untuk daerah dikurangi, pemerintah daerah mencari celah pendapatan melalui PBB,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).
Ia menjelaskan, PBB merupakan pajak daerah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, menurutnya, pemimpin daerah harus bersikap wise atau bijaksana dalam merumuskan kebijakan agar mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
“Kenaikan pajak itu seharusnya diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan kemampuan pemilik tanah. Rakyat miskin yang buat makan saja susah tidak sepatutnya ikut terbebani,” tegasnya.
Tofan menilai kebijakan di Pati kurang sensitif terhadap kondisi sosial karena menerapkan tarif secara rata. Padahal, kata dia, pemerintah daerah dapat merancang skema lebih humanis yang membedakan beban pajak berdasarkan kemampuan wajib pajak.
“Misalnya, untuk masyarakat miskin PBB tidak naik, sementara untuk golongan mampu bisa dinaikkan. Caranya bisa dengan clustering, misalnya tanah di atas 2.000 meter persegi dilakukan penyesuaian NJOP dan tarif, karena asumsi pemiliknya masuk kategori mampu,” jelasnya.

Ia juga mengusulkan perlakuan khusus untuk sektor pertanian. Menurutnya, tanah pertanian dengan luas kecil semestinya bebas dari kenaikan tarif PBB sebagai bentuk dukungan terhadap program ketahanan pangan dan perlindungan petani kecil. Namun, untuk lahan pertanian di atas 1 hektar, penyesuaian tarif bisa diterapkan.
Selain sistem clustering, Tofan menyarankan penerapan tarif progresif seperti pada Pajak Penghasilan (PPh). Dengan sistem ini, tarif PBB akan meningkat seiring bertambahnya luas tanah.
“Contohnya, ada tarif tertentu untuk lahan hingga sekian meter persegi, tarif lebih tinggi untuk di atasnya, dan begitu seterusnya. Untuk lahan di atas 10 hektar, tarifnya bisa jauh lebih besar,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa penyesuaian tarif pajak memang wajar dilakukan, tetapi proses dan polanya harus sesuai kondisi masyarakat. Kebijakan yang terlalu seragam, menurutnya, berisiko memicu penolakan yang berujung pada gejolak politik.
“Kalau setiap kali kepala daerah menyesuaikan tarif pajak langsung didemo sampai lengser, yang diuntungkan justru pemilik properti di kawasan elit seperti Menteng, Jakarta. Karena itu, kebijakan harus dirancang agar adil, tepat sasaran, dan bisa diterima publik,” pungkas Tofan. (*)
Kontributor: Tommy
Editor: Abdel Rafi



