
PEKANBARU, CAKRAWARTA.com — Malam itu seharusnya menjadi malam biasa bagi Ramadani Putri dan suaminya. Namun Jumat (18/4/2025), berubah menjadi mimpi buruk. Di halaman Polsek Bukit Raya, Pekanbaru, Riau, ia dianiaya sekelompok debt collector yang mengejarnya hingga ke markas aparat penegak hukum.
Dalam video amatir yang tersebar di media sosial, tampak jelas seorang perempuan berteriak histeris, dikerubungi para pria bertubuh besar. Mobil yang ditumpanginya rusak parah, dengan kaca pecah dan bodi penyok. Ironisnya, kejadian itu berlangsung di halaman kantor polisi—tanpa terlihat ada intervensi tegas dari petugas.
Perempuan itu adalah Ramadani Putri (30). Ia mengalami luka fisik dan trauma psikis. “Kami lari ke Polsek untuk cari perlindungan, tapi justru di sanalah kami diserang,” kata suaminya, yang enggan disebutkan namanya, kepada wartawan.
Dari Hotel Ke Polsek: Kronologi Mencekam
Menurut keterangan Polda Riau, peristiwa bermula dari perselisihan antara suami Ramadani dan kelompok debt collector terkait urusan pekerjaan. Cekcok itu terjadi di depan sebuah hotel di Jalan Sudirman, Pekanbaru.
Pertikaian itu sempat dilerai aparat. Namun bukannya selesai, kedua pihak sepakat bertemu kembali di kawasan Parit Indah, dekat Polsek Bukit Raya.
Yang tidak disangka, E alias Kevin (46), pimpinan debt collector, datang membawa lebih dari delapan orang. Saat korban mencoba menghindar, mobil mereka dikejar dan diteriaki. Ketika masuk halaman Polsek Bukit Raya, para pelaku tetap mengejar dan melakukan penganiayaan serta perusakan.
Tim gabungan Polda Riau dan Polresta Pekanbaru akhirnya menangkap empat pelaku: E alias Kevin, MHA (18), R alias Riau (46), dan RS alias Garong (34). Ketiganya tergabung dalam kelompok “Debt Collector Fighter Pekanbaru”.
“Kami sudah identifikasi 11 orang. Tujuh di antaranya masih buron. Kami imbau mereka segera menyerahkan diri,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau Kombes Asep Darmawan.
Polisi Tak Bertindak? Ini Respon Kapolres Pekanbaru
Yang menjadi sorotan publik adalah minimnya respons aparat saat kejadian berlangsung. Dalam rekaman video, tidak tampak upaya tegas dari anggota kepolisian di lokasi.
Kapolresta Pekanbaru Kombes Jeki Prasetya mengatakan bahwa saat kejadian terdapat 11 anggota Polsek Bukit Raya yang bertugas.
“Ada anggota yang melerai, tapi mungkin tidak terekam dalam video itu. Kalau tidak ada anggota, mungkin kekerasannya akan lebih parah,” ujarnya.
Namun pernyataan ini tidak cukup menenangkan publik. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Law, Arif Rachman, menyebut bahwa lokasi kejadian yang berada di lingkungan kantor polisi menandakan dua kemungkinan: lemahnya pengamanan internal, atau kurangnya keberanian aparat dalam menghadapi kelompok tertentu.
“Kejadian seperti ini seharusnya tidak mungkin terjadi jika SOP pengamanan dan perlindungan warga diterapkan secara tegas. Ini memperlihatkan celah yang sangat serius,” kata Arif.
Wajah Buram Penagihan Utang di Indonesia
Kekerasan oleh debt collector bukan peristiwa baru di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan mengenai intimidasi, penganiayaan, bahkan penyekapan oleh penagih utang kerap muncul di berbagai daerah.
Menurut data Komnas HAM, aduan terkait tindakan brutal debt collector terus meningkat, terutama setelah maraknya pinjaman daring dan leasing kendaraan bermotor. Celah hukum dan lemahnya pengawasan terhadap lembaga penagihan membuat praktik ini sulit diberantas.
“Banyak perusahaan pembiayaan menggunakan jasa debt collector tidak resmi. Dan ketika terjadi kekerasan, mereka lepas tangan,” ungkap Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah.
Pemerintah sendiri melalui OJK dan Kemenkopolhukam pernah menegaskan bahwa penagihan utang tidak boleh dilakukan secara kekerasan dan wajib mengedepankan pendekatan persuasif.
Namun fakta di lapangan sering berkata lain.
Menagih Keadilan di Depan Kantor Polisi
Kasus yang menimpa Ramadani Putri menjadi sorotan nasional. Bukan hanya karena kekerasannya, tetapi juga karena tempat kejadian: halaman kantor polisi. Tempat yang seharusnya menjadi benteng perlindungan, justru menjadi saksi bisu kekerasan.
Proses hukum kini berjalan. Namun publik menanti lebih dari sekadar penangkapan pelaku. Pertanyaan besar terus menggantung: mengapa institusi kepolisian di lokasi tidak mampu mencegah atau melindungi warga dalam bahaya?
Ketika keadilan tak hadir bahkan di depan pintu lembaganya sendiri, wajar jika kepercayaan publik mulai goyah. Dan jika hukum tak cukup menakutkan bagi mereka yang brutal, siapa lagi yang bisa memberi rasa aman?
(Reza/Rafel)