Kamis (10/1/2019) pagi, Presiden Joko Widodo melakukan pengecekan stok beras di Kompleks Pergudangan Badan Urusan Logistik (Bulog), Kelapa Gading, Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Negara mengatakan bahwa Bulog memiliki ketersediaan stok beras yang cukup besar pada awal tahun 2019 ini. Bahkan, stok Bulog mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Menurut kami, fakta tersebut merupakan prestasi tersendiri atas kinerja Dirut Perum Bulog Budi Waseso.
Tetapi menurut kami, stok beras Bulog lebih dari cukup, namun Bulog belum maksimal mewujudkan harga beras agar terjangkau oleh konsumen di tingkat pasar. Stabilisasi harga yang dicapai Bulog masih ditingkat yang masih agak mahal. Fakta di lapangan, justru harga beras di Jakarta beranjak naik, karena misalnya pasokan beras di Pasar Induk Cipinang pada Desember 2018 agak menurun.
Dari data APT2PHI DKI Jakarta, rata-rata per hari pasokan beras di Pasar Induk Cipinang mencapai 1.150 ton dari rata-rata sebelumnya mencapai 2.300 ton per hari. Turunnya pasokan ini mengakibatkan perdagangan beras antar daerah dan antar pulau menurun. Dampaknya jelas sekali, harga beras di tingkat grosir Pasar Induk Cipinang mengalami kenaikan.
Karenanya, APT2PHI mencoba mengingatkan pentingnya peran Bulog karena secara ekonomi dan politik, sangat strategis bagi kelangsungan keamanan negara. Oleh karena itu, tugas stabilisasi pengendalian harga yang dilakukan oleh Bulog harus secara maksimal agar peran pentingnya ini dapat dirasakan rakyat.
Dalam perjalanannya ini memang Bulog perlu didukung dengan kebijakan pemerintah yang melindungi petani dalam negeri. Pengendalian harga yang dilakukan oleh Bulog tidak hanya untuk perlindungan terhadap konsumen dengan harga terjangkau tetapi juga untuk melindungi harga beras petani melalui penetapan harga lewat operasi pasar Bulog.
Komitmen Budi Waseso misalnya, untuk tidak melakukan impor beras pada 2019 harus didukung, karena publik beranggapan pemerintahan Jokowi-JK selama ini kurang melindungi petani lokal. Pemerintah dinilai hanya mengandalkan beras impor untuk memenuhi cadangan stok nasional.
Dari data APT2PHI sendiri, stok beras Bulog sebanyak 2,1 juta ton justru didominasi beras impor yakni mencapai angka 1,85 juta ton. Padahal, idealnya 1 juta ton beras saja sudah cukup untuk pengamanan stok. Hal ini dikarenakan pada Maret 2019 mendatang, Indonesia sudah masuk musim panen raya.
Sayangnya, swasembada pangan beras yang terjadi pada tahun 1985 di era pemerintahan Soeharto, hanya merupakan prestasi memori dan bukan merupakan prestasi lanjutan dalam mempertahankan swasembada pangan.
Justru di era pemerintahan Joko Widodo, impor pangan dilakukan berlebihan dan tidak mampu dikontrol dan dikendalikan secara baik.
Dalam temuan tim APT2PHI, beras Bulog kurang diminati konsumen karena faktor harga dan kekeliruan dalam penentuan kualitas beras antara premium dan medium. Karenanya, diperlukan satu skenario pengendalian harga beras yang harus dilakukan pemerintah, agar beban Bulog ini tidak semakin besar.
Kekeliruan penentuan kualitad beras misalnya beras dengan broken 15% dan 25% broken tidak tergolong beras premium tetapi tergolong beras berkualitas medium. Kekeliruan ini fatal dalam penetapan harga, makanya beras Bulog tidak laku di pasaran dan stabilisasi untuk mencapai harga terjangkau konsumen belum tercapai. Pemerintah abai soal ini. Padahal sangat penting untuk segera dievaluasi agar permasalahan yang ada tak semakin berlarut-larut.
Sementara itu, perbedaan harga yang ada ternyata sangat mencolok dimana antara harga beras komersil broken 5% dengan harga beras kualitas medium broken 15% menjadi mahal atau tinggi. Harganya bisa mencapai 18,5% bila dibandingkan dengan perbedaan harga beras luar negeri yang broken-nya 5% dan broken 15% yang hanya berkisar 2,43% – 2,50% saja.
Adalagi masalah penetapan harga jual SPS beras Operasi Pasar eks luar negeri seperti Pakistan, India, Vietnam saat ini, dengan harga jual beras komersial broken 5% saja dianggap sangat mahal. Perbedaan harga beras broken 15% dan 5% cukup tinggi yakni mencapai Rp angka Rp 1500/kg.
Fakta mengenai perberasan ini terjadi, lantaran peran importir beras. Karena itu, Presiden Joko Widodo harus segera memerintahkan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas atas kebijakan impor beras tersebut.
Jika berlarut-larut maka kerugian yang ada akan terus dibebankan pada Pemerintah dalam hal ini Bulog dimana untuk menutupi kerugian, Pemerintah menjual beras pada pedagang dengan sistem bundling atau subsidi silang yang artinya sama dengan pedaganglah yang justru mensubsidi Pemerintah. Bukan sebaliknya.
Selain itu, Pemerintah juga seharusnya melindungi para pedagang pasar mitra Bulog. Caranya, penetapan harga penjualan beras Bulog harus memperhitungkan pedapatan pedagang, inflasi dan harga penjualan pada konsumen, guna mengurangi beban yang dipikul Bulog. Penetapan harga beras medium dan premium pun juga harus memperhitungkan biaya pemasaran, pengolahan, penyimpanan, angkutan dan bunga Bank, ditambah dengan keuntungan Bulog yang wajar, sehingga tidak merugikan para pedagang pangan.
Untuk diketahui, perbedaan harga beras yang ditetapkan Bulog antara broken 5% dengan broken 15% tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan harga FOB Bangkok dan Ho Chi Minh City yang berada di kisaran antara USD 10-15/MT atau sekitar 2,43% – 2.50% saja.
Sedangkan beras dalam negeri dan beras luar negeri (Vietnam, Pakistan dan India) broken 15%, justru menurut kami harga jual yang dibandrol Bulog mahal, padahal beras tersebut tergolong berkualitas medium dan tidak jauh berbeda dengan beras yang dijual melalui Operasi Pasar. Dampaknya, para pedagang menjual rugi atau justru memberi subsidi pada pemerintah dengan nilai cukup tinggi.
Agar pedagang dapat memperoleh nilai tambah, maka penetapan harga jual beras premium atau komersial eks luar negeri broken 5% dengan komposisi penjualan melalui sistem bundling harus bisa menguntungkan pemerintah dan tidak merugikan para pedagang.
Jika saran di atas dapat dilakukan, maka beban Bulog dapat dikurangi dan pedagang mitra Bulog pun tidak dirugikan malah memperoleh nilai tambah, sehingga beras Bulog dapat terjual dan stabilisasi harga terjangkau konsumen dapat tercapai.
Dr. Rahman Sabon Nama
Ketua Umum Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia (APT2PHI)