SURABAYA – Penyelenggaraan Pemilu 2024 semakin dekat. Para calon kontestasi mulai mempersiapkan visi misi, bahkan ada yang sudah mengumumkan visi misinya. Namun, banyak calon kontestasi yang kerap memberikan janji, tetapi tidak merealisasikannya. Seringkali, janji yang dikampanyekan juga terkesan tidak realistis untuk direalisasikan. Menurut pengamat politik Irfa’i Afham, hal tersebut sebenarnya merupakan fenomena yang biasa, tetapi tetap tidak boleh dinormalisasi.
“Dalam politik, hal penting yang harus kita cermati adalah kepentingan,” tegas Irfa’i pada media ini.
Kepentingan itu, sambungnya, bermacam-macam jenisnya. Ia mencontohkan akses terhadap suatu proyek juga termasuk salah satu macam kepentingan.
“Misalnya juga akses ke pendanaan, akses ke pengambilan keputusan atas suatu konsesi, dan korupsi juga merupakan kepentingan. Masyarakat secara kritis harus mampu memaknainya dan mengambil sikap yang tegas,” paparnya.
Irfa’i menuturkan masyarakat perlu menggarisbawahi kepentingan mana yang merefleksikan kepentingan rakyat, kepentingan masyarakat marginal, dan kepentingan masyarakat rentan. Rakyat perlu mengetahui bagaimana kepentingan-kepentingan mereka dapat diwadahi dan direalisasikan.
“Saya rasa ini tidak mudah. Perlu proses panjang antara para calon kontestasi dengan dukungan masyarakat sipil yang kuat dan memiliki budaya politik yang kuat pula,” ucapnya.
Bagi pemilih pemula, Irfa’i menyarankan untuk memilih calon berintegritas yang benar-benar membawa kepentingan konstituen dan merealisasikan kepentingan rakyat. Idealnya, kampanye yang diusung harus mencerminkan kondisi riil masyarakat sipil dari segi sosial-ekonomi, sosial-budaya, usia, gender, dan isu-isu lain yang mengakomodir kepentingan rakyat.
“Kampanye itu apa yang calon kontestasi tawarkan melalui visi-misi, agenda, program-program, bahkan kontrak politik. Kampanye yang ideal harus betul-betul merepresentasikan kepentingan, tuntutan, aspirasi, dan permasalahan dari rakyat atau konstituen,” ujarnya.
Menurutnya, dalam menghadapi maraknya kampanye bohong ini, penting untuk meningkatkan literasi politik, utamanya dalam memaknai pentingnya politik dan bagaimana proses politik beroperasi.
“Literasi politik membantu para pemilih untuk memahami isu-isu politik aktual, aktor-aktor politik, dan partai-partai politik. Literasi politik juga membantu masyarakat memahami makna penting representasi politik,” jelas Irfa’i.
“Literasi politik tidak hanya berkaitan dengan janji kampanye, tetapi juga pada keputusan dan tindakan para aktor politik dalam mengambil keputusan-keputusan politik. Melalui literasi politik, masyarakat menjadi ‘melek’ politik,” lanjutnya.
Terkait dengan maraknya kampanye bohong, Irfa’i mengatakan masyarakat harus berhenti berpaku pada janji-janji kampanye, tetapi harus fokus pada tindakan nyata calon kontestasi sebelum dan sesudah terpilih.
“Para pemilih harus tegas dalam menghukum para calon yang sebelumnya berbohong tidak mewujudkan kepentingan mereka atau bahkan melakukan berbagai penyimpangan, misalnya korupsi,” imbuhnya.
Cara menghukum para calon tersebut, ungkapnya, bisa dengan tidak memilih mereka lagi di Pemilu berikutnya.
“Pemilu merupakan manifestasi dari praktik demokrasi langsung, kita bisa menghukum mereka secara langsung dengan tidak memilih mereka lagi di Pemilu sekarang ataupun Pemilu-Pemilu mendatang,” pungkas pria yang juga merupakan dosen FISIP Universitas Airlangga itu.
(pkip/mar/bti)