Sunday, May 5, 2024
HomeGagasanJalan Gerilya Joko Widodo

Jalan Gerilya Joko Widodo

Periode kedua masa jabatan seorang presiden yang dipilih secara langsung, baik menggunakan popular vote seperti Republic of Indonesia (RI) atau electoral college seperti United States of America (USA), dikenal sebagai fase puncak unjuk kekuatan subjektivitas personal Sang Presiden Terpilih. Personifikasi sebagai Kepala Negara lebih menonjol, ketimbang sebagai Kepala Pemerintahan. Pengaruh kelembagaan (partai) politik pendukung atau pengusung perlahan memudar.

Seorang presiden yang terpilih kedua-kalinya memiliki kemandirian yang lebih, ketimbang yang baru menjabat untuk pertama kalinya. Ia bukan lagi boneka atau robot atau petugas yang dikendalikan oleh komunitas ekonomi dan politik disekitarnya, tetapi sudah memiliki pengetahuan, pengalaman dan jejak rekam dalam lintasan waktu. Ia seperti bulan di malam purnama penuh yang mampu menjadikan nyala matahari hanya laksana bintang kecil yang malas. Tak heran jika sejumlah keputusan penting diambil pada periode kedua ini, termasuk pernyataan perang atau pilihan perdamaian. Hakikat dua masa jabatan adalah pemberian kesempatan kepada sosok yang sama untuk menjalankan program-program yang berbeda antara periode pertama dan periode kedua.

Periode pertama dan periode kedua adalah kalkulasi matematika dalam kalander politik. Dalam patokan sejarah, lintasan waktu dua periode ini berhasil dilewati oleh Presiden Sukarno selama dua kali (1945-1955 dan 1955-1965), Presiden Soeharto – secara definitif dengan patokan pemilu – dua kali (1972-1982 dan 1982-1992) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono satu kali (2004-2014). Kita tentu bisa mencatat apa saja legacy masing-masing presiden tersebut, ketimbang yang dilewati oleh Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Sukarnoputri.

Dari sisi waktu, Presiden Joko Widodo baru hendak melewati tahun keempat. Artinya, dalam satu periode saja, minimal ada waktu minimal delapan bulan untuk berkampanye, ditambah sekitar empat bulan masa hiruk-pikuk. Praktis, sekalipun terdapat lima tahun masa jabatan satu periode, tapi yang benar-benar fokus sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan hanya empat tahun. Pihak oposisi bisa saja mencatat segudang data tentang kegagalan Presiden Joko Widodo, beserta semeter daftar janji yang belum bisa dipenuhi atau diraih. Sebaliknya, pihak pendukung Presiden Joko Widodo juga bisa mencatat dua gudang data keberhasilan Presiden Joko Widodo, beserta dua meter daftar pekerjaan yang tak pernah dijanjikan tapi bisa dipenuhi dan diraih.

Kelebihan seorang petahana adalah menunjukkan daftar apa saja yang sudah dikerjakan, dalam bentuk yang nyata, dibandingkan dengan seorang penantang yang baru di tingkat “ingin ke sana, ingin ke sini.” Nilai dari daftar pekerjaan dibanding daftar keinginan ini bakal menjadi area tarung perdebatan politik yang syahdu dan merdu. Sebagai petahana, Presiden Joko Widodo tinggal menggeser sejumlah prioritas pembangunan. Kemerdekaan dalam menjalankan prioritas-prioritas itulah yang makin besar, pada saat periode kedua dimulai. Bahkan, apabila Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. (HC) KH. Ma’ruf Amin bisa menang dalam satu putaran, yakni per 17 April 2019, keesokan harinya bisa langsung mengubah prioritas pembangunannya tanpa perlu menunggu seremoni pelantikan pada tanggal 20 Oktober 2019. Reshuffle kabinet bisa saja terjadi di bulan April itu, dengan memanfaatkan arus hangat yang mengalir dari arah buritan kapal.

Tak heran, Joko Widodo memenangkan sejumlah babak pertarungan pendahuluan. Kemenangan terbesar adalah ketika memunculkan nama KH. Ma’ruf Amin sebagai Calon Wakil Presiden RI. Intelijen politik paling jeniuspun tak ada yang menyangka bahwa nama Ma’ruf Amin yang bakal disebutkan. Joko Widodo berhasil menyimpan rapat-rapat nama yang ada di sakunya itu. Saya bahkan menduga, bahkan istrinya sendiri juga tidak tahu nama yang ia hadirkan itu. Dari sisi ini saja sudah terlihat, betapa soliter, independen dan merdekanya Joko Widodo dalam mengambil keputusan. Logika permakluman yang ia pakai tidak mampu menutupi betapa seluruh bangsa terkejut, termasuk intelijen-intelijen luar negeri yang selama ini “menyadap” seluruh informasi yang berada di dalam lingkaran dalam Istana Negara. Biasanya, ada saja satu atau dua berita di portal-portal luar negeri yang “membocorkan” nama penting itu, beberapa jam atau menit sebelum diumumkan. Hanya kali ini berita berbahasa asing itu tak punya bahan akurat sebagai menu politik bergizi tinggi.

Dalam seluruh gerak yang dilakukan Joko Widodo, terlihat betapa ia tak lagi sekadar blusukan guna membangun komunikasi politik, menyelesaikan konflik antar tokoh dan partai, juga membangun kesepakatan bersama sembilan partai politik. Joko Widodo lebih terlihat seperti seorang gerilyawan yang piawai dalam mengendalikan keadaan. Entah dimana ia belajar ilmu politik yang hanya pernah dimiliki oleh satu orang tokoh bangsa Indonesia, yakni Tan Malaka. Ilmu “Sang Gerilya: Politik dan Ekonomi” yang ditulis oleh Tan Malaka seperti hidup kembali. Risalah yang ditulis pada tahun 1948 itu, kini sudah berusia 70 tahun. Joko Widodo seperti menghidupkan dan mengkilapkannya kembali, sehingga mampu menyatukan banyak sekali kelompok yang berbeda warna, ideologi, hingga isi saku. Joko Widodo seperti muncul sebagai Sun Tzu atau Konfusius era millenium ketiga, dengan kepiawaian yang hanya sekejap saja mengundang hiruk pikuk.

Darimana Joko Widodo memiliki, mendapatkan dan mempelajari cara-cara berpolitik ala gerilyawan legendaris Tan Malaka yang juga menulis risalah filsafat yang khas Indonesia “Materialisme, Dialektika dan Logika” itu? Mau tidak mau, kita perlu memeriksa kembali riwayat hidupnya yang penuh kesunyian. Joko Widodo muda adalah seorang tukang kayu yang juga memiliki jiwa petualangan sebagai pendaki gunung. Ia terbiasa mengasah, memoles dan membentuk kayu-kayu menjadi bernilai seni tinggi dan berharga mahal. Ia memiliki nafas yang panjang, jauh dan konsisten dalam kisah-kisah pendakian gunung-gunung tertinggi di Indonesia dalam masa mudanya. Entah mengapa, jiwa pendaki Joko Widodo itulah yang diuji oleh sejumlah letusan gunung: Dari Gunung Sinabung hingga Gunung Agung. Gunung-gunung yang menjerit, ketika proyek infrastruktur dipacu memaku banyak pori-pori tanah.

Kemampuan “berkomunikasi” dengan “suara protes alam” itu yang saya lihat menjadi salah satu faktor kunci yang membelokkan sejumlah pilihan politik yang hendak ditempuh Joko Widodo. Dari semua tokoh elite negeri yang berakar dalam ranji dan silsilah raja-raja Majapahit hingga Mataram yang saya kenali dan sering ajak diskusi, terlihat sekali betapa pedulinya mereka kepada suara dari alam raya ini. Lalu mereka jadikan sebagai lelaku politik yang bakal sulit dipelajari di bangku-bangku kuliah yang menggunakan teks-teks ilmu atau teori politik ala Montesque atau Voltaire. Beberapa tokoh dalam biografi atau otobiografi yang ditulis, bahkan menunjukkan ritual bersatu dengan alam ini, seperti semedi, mandi, hingga mendatangi makam-makam keramat.

Jalan gerilya yang ditempuh oleh Joko Widodo ini hanya bisa dipahami, apabila pihak-pihak yang ingin menyelam ke dalam pola pikir dan pola tindak Ir Joko Widodo juga melakukan napak tilas pendakian yang sama. Karena pernah memiliki pengalaman pendakian sebagai anak alam, saya berani bertaruh betapa dalam Nawacita Jilid II nanti, Joko Widodo bakal sangat mengedepankan lingkungan hidup, rural, tribal, hingga suku-suku pedalaman. Ia bakal bekerja lebih keras untuk menghijaukan yang kini jadi kemarau. Kabut asap berhasil minggir dalam periode pertama yang belum selesai ini, sekalipun kini mulai terlihat sejumlah titik api di Kalimantan. Kemandirian Joko Widodo dalam periode kedua pemerintahannya – Inshaa Allah, jika terpilih – bakal lebih banyak ia gunakan untuk tak lagi menjadikan alam dan manusia saling bentrok.

Dari sana juga ia memiliki alasan kuat memilih KH Maruf Amin, guna memakmurkan kehidupan keagamaan yang berbasis mesjid, surau, pesantren, meunasah, pura, sinagog, gereja dan lain-lain. Alam dan kebangkitan teologi adalah dua hal yang saling menopang. Bukankah kisah Nabi Muhammad SAW juga berakhir dalam rerimbunan pohon-pohon kurma yang berhasil ia cangkokkan dan hibridisasikan dengan tanggannya sendiri di Madinah? Bukankah Prabu Siliwangi menghilang di hutan rimba, setelah era keberhasilannya memimpin tanah pasundan? Bukankah Mahapatih Gajah Mada juga menghilang ke hutan rimba, setelah mengundurkan diri dari jabatan, dengan 12 tiang petilasan yang dibawa murid-murid Sabang-Meraukenya?

Dan Tan Malaka? Ia ditembak di Selo Panggung, Kediri? Saya berharap, Joko Widodo mengakhiri jalan gerilyanya di area itu, pada periode kedua, nanti. Toh makam Tan Malaka sudah dipindahkan ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Kediri adalah awal penggunaan bendera merah-putih, dalam zaman Jayakatwang mengalahkan Singosari, 796 tahun yang lalu. Semoga area Selo Panggung di Kediri itu menjadi sitawar dan sidingin untuk Joko Widodo menatap ke luar badannya, pun ke dalam jiwanya: Kediri dan Ke Diri…

Jakarta, 14 Agustus 2019

INDRA J PILIANG

Pangkoops Sang Gerilyawan Jokowi

RELATED ARTICLES

Most Popular