Saturday, April 27, 2024
HomePolitikaIngatkan Jokowi, Ketum APT2PHI: Cetak Sawah Bukan Solusi Atasi Krisis Pangan!

Ingatkan Jokowi, Ketum APT2PHI: Cetak Sawah Bukan Solusi Atasi Krisis Pangan!

Ketua Umum Asosiasi Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia (APT2PHI) Rahman Sabon Nama saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. (foto: cakrawarta)

JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia (APT2PHI) Rahman Sabon Nama mempertanyakan siapa yang membisiki Presiden Joko Widodo (Jokowi), sehingga korporasi Badana Usaha Milik Negara (BUMN) begitu mudahnya dipecut Jokowi untuk keroyokan membuka lahan sawah baru.

Disebutkan, Selasa (28/4/2020) Menko Perekonomian Erlangga Hartato tetiba mengatakan dirinya diinsrtuksi langsung Presiden Jokowi agar BUMN segera keroyokan membuka lahan sawah baru. Tujuannya, mengantisipasi ancaman bahaya kelaparan, terlebih terhadap dampak wabah pandemi Covid-19.

Rahman yang dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (30/4/2020) tadi, sontak berujar heran: “Lha, krisis pangan, jalan keluarnya cetak sawah!? Yang benar aja dong?”

“Itu sih teori para komprador di lingkungan dekat presiden dan akal-akalan menukangi APBN menjadi bancakan,” imbuh Rahman.

Rahman mengatakan, sangat bual kalau dinyatakan bahwa cetak sawah itu merupakan solusi jitu mengatasi kelangkaan pangan menghadapi dampak wabah Covid-19. Baik saat ini maupun setelah virus ini melanda.

Dari sisi waktu saja, menurut Rahman, sudah tidak mungkin cetak sawah untuk solusi jangka pendek. “Ini mah solusi akal bulus saja,” ujarnya dalam tawa pendek.

Rahman lantas berseloroh, “Masak sih, menteri di bidang ekonomi tidak tahu bahwa sekarang kemampuan daya beli kelas menengah saja turun akibat banyak sektor usaha industri, maupun perdagangan ambruk dan banyak PHK!? Tabungan mereka menurun, terjadi ketidakmampuan belanja pangan, bila pandemi Covid-19 ini berkepanjangan.”

Ditanya apa solusi yang bisa ditawarkan lembaga yang dipimpinnya, APT2PHI, Rahman mengatakan, kalau pemerintah memang benar punya uang untuk cetak sawah sebaiknya dibatalkan. Uang itu, lanjutnya, lebih bermanfaat jika digunakan untuk pengadaan gabah dan beras produksi petani dalam negeri.

“Langkah ini merupakan solusi lebih strategis,” tegasnya.

Menurut prediksi APT2PHI, kata Rahman, hasil produksi beras petani Indonesia cukup bagus. Diperkirakan produksi musim panen raya (MPR) tahun 2020 bisa mencapai 22,3 juta ton setara beras, dihitung dari luas areal total panen mencapai 80,5 % dari 11,2 juta hektar.

“Perkiraan kami sangat jauh berbeda dengan data yang dikemukakan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang memperkirakan produksi padi tahun 2020 hanya 11.888.716 ton,” papar pria asal Nusa Tenggara Timur itu..

Karena itu, menurut Rahman, sebaiknya Presiden Jokowi memerintahkan Menko Perekonomian agar Bulog melepaskan 1,3 juta stok beras eks impor Tahun Anggaran 2018 dan 2019 melalui operasi pasar. Juga gudang Bulog harus dipenuhi dengan membeli beras dan gabah petani hasil produksi 2020.

“Jadi, urungkan saja rencana pencetakan sawah baru itu,” tandas Rahman sembari mengemukakan pengalaman empiris era Menteri Pertanian Amran Sulaiman (2014-2019).
Era itu, urainya, sudah ada program cetak sawah baru, SERASI namanya. Pencetakan sawah baru di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan seluas 500 ribu hektar. Program ini justru mangkrak, gagal, bahkan seharusnya diperiksa KPK.

Cetak sawah baru acuan pemerintah tentu lewat APBN dengan penentuan sekaligus lahan dan anggaran. Padahal, menurut Rahman, tidak semua lahan dalam satu hamparan cocok untuk sawah.

Jadi, menurut Rahman, hanya ada satu cara, yaitu melipatgandakan produktivitas padi. Sebab, masalahnya bukan di jumlah area sawah, tapi bagaimana mengamankan puluhan triliun APBN untuk pupuk subsidi, bisa langsung sampai di tangan petani sehingga produksi padi akan berlipat ganda.

Rahman mengatakan, pada 2016, awal pemerintahan Jokowi-JK, pihaknya sudah menyampaikan kepada Presiden Jokowi untuk mencetak sawah baru dengan membangun Food Estate.

“Kenapa ketika itu tidak dilakukan!? Padahal usulan itu bertujuan mengamankan ketahanan pangan nasional. Sebab, dengan Nawacita bisa menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia dengan membangun Food Estate lewat pencetakan dua juta hektar lahan sawah baru di Kalimantan dan Sumatera serta satu juta hektar di Papua dan Sulawesi,” tukasnya.

Lebih jauh, Rahman mengatakan bahwa pada 1980 di era Presiden Soeharto sudah dicetak sawah di area gambut Sumatera Selatan dan sekarang sudah berhasil menjadi lumbung pangan.

“Sedangkan cetak sawah lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah gagal, bukan karena lahan gambutnya, tetapi kerena dijegal oleh para mafia importir pangan menjelang krisis ekonomi 1998. Semua pengalaman itu, merupakan pelajaran berharga dalam perjalanan bangsa ini memproduksi dan membangun kemandirian dan ketahanan pangan,” tandasnya mengakhiri keterangan.

(bm/bus/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular