Thursday, March 28, 2024
HomeEkonomikaAPT2PHI Ingatkan Jokowi, Cetak Sawah Bukan Solusi Atasi Krisis Pangan Akibat Covid-19

APT2PHI Ingatkan Jokowi, Cetak Sawah Bukan Solusi Atasi Krisis Pangan Akibat Covid-19

Ketua Umum APT2PHI, Rahman Sabon Nama.

 

JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia (APT2PHI) Rahman Sabon Nama mempertanyakan siapa yang membisiki Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehingga korporasi BUMN didorong untuk keroyokan membuka lahan sawah baru.

Rahman yang dihubungi, Kamis (30/4/2020) sore, sontak berujar heran: “Lha, krisis pangan, jalan keluarnya cetak sawah? Yang benar aja dong! Itu sih teori para komprador di lingkungan dekat Presiden dan akal-akalan menukangi APBN menjadi bancakan,” kata Rahman.

Dia mengatakan, sangat bual kalau dinyatakan bahwa cetak sawah itu merupakan solusi jitu mengatasi kelangkaan pangan menghadapi dampak wabah Covid-19. Baik saat ini maupun setelah virus ini melanda.

Dari sisi waktu saja, menurut Rahman, sudah tidak mungkin cetak sawah untuk solusi jangka pendek. “Ini mah solusi akal bulus saja,” ujarnya dalam tawa pendek.

Dia lantas berseloroh, “Masak sih, menteri di bidang ekonomi tidak tahu bahwa sekarang kemampuan daya beli kelas menengah saja turun akibat banyak sektor usaha industri, maupun perdagangan ambruk dan banyak PHK? Tabungan mereka menurun, terjadi ketidakmampuan belanja pangan, bila pandemi Covid-19 ini berkepanjangan.”

Ditanya apa solusi yang bisa ditawarkan lembaga yang dipimpinnya, APT2PHI, Rahman mengatakan, kalau pemerintah memang benar punya uang untuk cetak sawah sebaiknya dibatalkan.

Uang itu, tandasnya, lebih bermanfaat digunakan untuk pengadaan gabah dan beras produksi petani dalam negeri. Langkah ini merupakan solusi lebih strategis.

Menurut prediksi APT2PHI, kata Rahman, hasil produksi beras petani Indonesia cukup bagus. Diperkirakan produksi musim panen raya (MPR) tahun 2020 bisa mencapai 22,3 juta ton setara beras, dihitung dari luas areal total panen mencapai 80,5 % dari 11,2 juta hektar lahan sawah.

“Perkiraan kami sangat jauh berbeda dengan data yang dikemukakan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang memperkirakan produksi padi tahun 2020 hanya 11.888.716 ton,” bebernya.

Oleh karena itu, ia meminta agar Jokowi perintahkan Menko Perekonomian agar Bulog melepaskan 1,3 juta stok beras eks impor Tahun Anggaran 2018 dan 2019 melalui operasi pasar atau bagikan saja pada rakyat daripada busuk dan dibuang Bulog lagi. Gudang Bulog harus dipenuhi stok untuk cadangan nasional dengan membeli beras dan gabah petani hasil produksi 2020.

“Jadi, urungkan saja rencana pencetakan sawah baru itu,” tandas Rahman sembari mengemukakan pengalaman empiris era Menteri Pertanian Amran Sulaiman (2014-2019).

Era itu, urainya, sudah ada program cetak sawah baru, SERASI namanya. Pencetakan sawah baru di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan seluas 500 ribu hektar. Program ini justru mangkrak, gagal, bahkan seharusnya diperiksa KPK.

Cetak sawah baru acuan pemerintah tentu lewat APBN dengan penentuan sekaligus lahan dan anggaran. Padahal, menurut Rahman, tidak semua lahan dalam satu hamparan cocok untuk sawah.

Jadi menurutnya hanya ada satu cara, yaitu melipatgandakan produktivitas padi. Sebab, masalahnya bukan di jumlah area sawah, tapi amankan puluhan triliun APBN pupuk subsidi, agar langsung sampai di tangan petani sehingga produksi padi akan berlipat ganda.

Rahman mengatakan, pada 2016, awal pemerintahan Jokowi-JK, pihaknya sudah menyampaikan kepada Presiden Jokowi untuk mencetak sawah baru dengan membangun Food Estate.

Rahman heran kenapa saat itu hal tersebut tidak dilakukan, padahal usulan itu bertujuan mengamankan ketahanan pangan nasional. Sebab, dengan Nawacita bisa menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia dengan membangun Food Estate lewat pencetakan dua juta hektar lahan sawah baru di Kalimantan dan Sumatra serta satu juta hektar di Papua dan Sulawesi.

Lebih jauh Rahman mengatakan, pada 1980 di era Presiden Soeharto sudah dicetak sawah di area gambut Sumatera Selatan dan sekarang sudah berhasil menjadi lumbung pangan.

Sedangkan cetak sawah lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah gagal, bukan karena lahan gambutnya, tetapi kerena dijegal oleh para mafia importir pangan menjelang krisis ekonomi 1998.

Rahman mengatakan, “Semua pengalaman ini merupakan pelajaran berharga dalam perjalanan bangsa dalam memproduksi dan membangun kemandirian dan ketahanan pangan,” pungkasnya.

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

Most Popular