JAKARTA – Pengamat politik Rahman Sabon Nama mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam setelah terjadi kembali pembajakan kapal berbendara Indonesia pada Jum’at (15/4/2016) pukul 18.31 wib. Rahman merasa prihatin dengan terulangnya kejadian serupa dalam waktu yang tidak terlalu lama dengan peristiwa pertama. Hal tersebut menunjukkan adanya permasalahan serius berkaitan dengan perbatasan laut dan perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI).
“Sudah sepatutnya Presiden Joko Widodo meminta Presiden Filipina agar TNI dapat melakukan Operasi Senyap. Seperti ini kan biasa dilakukan tentara Amerika dan Israel,” ujar Rahman Sabon Nama kepada cakrawarta.com di Jakarta, Minggu (17/4/2016).
Menurut laporan dari sumber yang dipercaya, menurut Rahman kelompok Abu Sayyaf dalam melakukan penyanderaan WNI tersebut didukung oleh 487 orang pasukan. Terkait dengan seriusnya masalah ini maka menurutnya diperperlukan langkah cepat dan darurat oleh Indonesia adalah:
1) Menlu Retno segera lakukan diplomasi duduk bersama pemerintah Malaysia dan Filipina untuk mencegah terulang lagi kejadian serupa dengan membuat code of conduct,
2) Menkopolhukan agar perintahkan Panglima TNI untuk laksanakan operasi laut bersama tentara Diraja Malaysia dan Filipina di wilayah rawan sepanjang hari dan diperkuat dengan pasukan khusus antiteror bukan Densus dengan menggunakan kapal-kapal perang yang dilengkapi RHIB (sekoci cepat),
3). TNI agar segera perkuat 10 perbatasan laut terutama di Selat Malaka, Natuna dan Tarakan, khususnya aspek laut dan udara.
Sebaiknya terhadap kapal niaga Indonesia menuru hemat Rahman seharusnya ada pengawalan oleh pasukan TNI/Polri yang sedang berlayar melalui daerah rawan.
“Setahu saya saat ini sudah ada MoU antara BNPT dengan Badan Anti Teror Malaysia dan Filipina,. Saran saya agar segera dilanjutkan dengan perjanjian kerjasama yang lebih teknis dalam menangani teror internasional,” imbuh pria kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.
Terkait peraturan di Filipina yang tidak mengijinkan pasukan asing terlibat dengan operasi dalam negerinya, maka bagi Rahman ada baiknya agar bisa dibuat perjanjian untuk pengiriman pelatih sebagai supervisi.
Sementara itu, selama jalur laut yang dimaksud masih belum aman, untuk dilakukan penghentian pengiriman kapal (tugboat) bila tidak dilengkapi pengawal. Diperlukan juga adanya monitor ketat dengan negosiasi antara pemilik kapal dengan pihak pemberontak.
“Keselamatan WNI sebagai prioritas utama. Ini yang paling penting,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Jumat (15/4/2016) lalu terjadi pembajakan kembali dua kapal berbendera Indonesia yaitu Kapal Tunda TB Henry dan Kapal Tongkang Cristi, di perairan perbatasan Malaysia-Filipina.
Kapal tersebut dalam perjalanan kembali dari Cebu, Filipina, menuju Tarakan dengan membawa 10 orang ABK WNI. Dari informasi yang kami didapat, lokasi kejadian di Kunak, Sandakan (Malaysia). Peristiwa ini menyebabkan 1 orang ABK tertembak dan 5 orang selamat serta 4 orang ABK diculik. Satu ABK yang tertembak oleh kelompok Abu Sayyaf sudah diselamatkan oleh Polisi Maritim Malaysia dan dibawa ke wilayah Malaysia guna mendapatkan perawatan.
(bm/ti)