Thursday, May 22, 2025
spot_img
HomeGagasanIndonesia di Tengah Proteksionisme Baru

Indonesia di Tengah Proteksionisme Baru

Pasca kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan AS terhadap sejumlah negara berkembang—termasuk Indonesia—dunia kembali diingatkan bahwa rezim perdagangan bebas yang dijanjikan sejak era Bretton Woods kini tinggal retorika. Di balik istilah semacam de-risking, friend-shoring, dan supply chain resilience, tersimpan strategi lama yang dibungkus jargon baru: dominasi ekonomi melalui pengecualian terhadap pihak yang tak sejalan dengan kepentingan geopolitik Washington.

Namun tantangan Indonesia hari ini tidak semata datang dari luar. Tekanan domestik memperparah posisi kita. Berkurangnya lapangan kerja akibat pelambatan investasi asing, serta konsentrasi anggaran pada program unggulan seperti makanan bergizi gratis, telah menyempitkan ruang fiskal dan memperlemah daya respons ekonomi nasional. Di saat negara-negara tetangga mulai mengambil langkah antisipatif terhadap perubahan arsitektur dagang global, Indonesia justru terjebak dalam euforia transisi kekuasaan yang minim arah strategis.

Kepemimpinan Prabowo hingga kini belum menunjukkan soft take off yang meyakinkan. Tanpa sinyal kebijakan ekonomi luar negeri yang tegas, Indonesia berisiko kehilangan pijakan di tengah guncangan proteksionisme AS. Alih-alih menjadi pengarah arus, kita justru tampak seperti penumpang yang belum tahu kapal akan dibawa ke mana. Pertanyaannya kini bukan sekadar apakah Indonesia mampu bertahan, tetapi apakah kita bersedia mengambil sikap. Ketika tekanan datang dari dua arah, diam bukanlah pilihan netral melainkan bentuk kelengahan yang bisa menumpuk ongkosnya bagi generasi berikutnya. Publik pada akhirnya harus mulai menuntut arah, bukan sekadar janji.

Global South Bangkit Tanpa Corong

Dominasi isu Global South dalam forum-forum internasional beberapa tahun terakhir bukan kebetulan. Negara-negara berkembang mulai menyadari bahwa mereka bukan lagi sekadar pasar atau lokasi rantai pasok murah, melainkan aktor penting dalam penentuan arah ekonomi global. Krisis pandemi, disrupsi logistik, dan fragmentasi geopolitik memunculkan kebutuhan mendesak akan tata ekonomi baru—yang lebih inklusif, adil, dan tidak sepenuhnya dikendalikan dari satu pusat.

Namun kebangkitan Global South tak akan bermakna bila tidak disertai representasi kepemimpinan nyata. Di sinilah peran Indonesia diuji. Apakah kita hanya akan hadir sebagai peserta, atau mengambil inisiatif memperjuangkan kepentingan kolektif Selatan? Sayangnya, hingga hari ini, belum terlihat manuver diplomatik signifikan dari Indonesia yang menandai perubahan posisi tersebut.

Ketika negara-negara seperti Brasil mengonsolidasikan pengaruh melalui BRICS, India aktif merancang kebijakan industri strategis berbasis teknologi, dan Afrika Selatan mendorong transformasi tata kelola global di forum G20 dan PBB, Indonesia tertinggal dalam dimensi visi dan eksekusi. Kita masih terjebak pada diplomasi simbolik yang cenderung reaktif—datang, hadir, menyampaikan pidato normatif, lalu pulang tanpa jejak kebijakan. Padahal, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kapasitas politik dan legitimasi institusional yang memadai. Yang kurang bukanlah kesempatan, melainkan keberanian untuk mengambil posisi, memetakan kepentingan jangka panjang, dan menyuarakan kepemimpinan dari Selatan.

Kebijakan dagang proteksionis AS seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat solidaritas Selatan-Selatan. Bukan sekadar jargon politik, tetapi basis kolektif dalam menyusun ulang relasi global—di mana kepentingan negara berkembang tidak lagi menjadi ekor dari kebijakan negara-negara besar.

Prabowo di Antara Realitas Domestik dan Tuntutan Global

Kepemimpinan Prabowo Subianto memasuki arena global dalam situasi yang tidak ideal. Tekanan eksternal dari proteksionisme AS datang berbarengan dengan tantangan domestik: deindustrialisasi, volatilitas harga pangan, dan ruang fiskal yang sempit akibat program prioritas seperti makanan bergizi gratis. Kombinasi ini membuat Indonesia harus menjawab tekanan luar dan merespons kegelisahan dalam negeri. Ketika negara-negara tetangga mulai menyusun ulang strategi menghadapi fragmentasi ekonomi global, Indonesia tertahan oleh urusan transisi dan orientasi kebijakan yang belum ajek. Dalam situasi seperti ini, ketidaktegasan arah bukan sekadar masalah diplomatik, tetapi soal eksistensi di tengah kontestasi global yang makin keras.

Indonesia tidak bisa bertumpu pada business as usual dalam diplomasi luar negerinya. Politik bebas aktif harus ditafsir ulang agar tidak hanya menjadi retorika non-blok atau penghindaran konflik, melainkan alat negosiasi strategis dalam menghadapi kekuatan besar yang kian transaksional. Ketika proteksionisme dijadikan alat politik oleh AS, Indonesia harus mampu membalas dengan kebijakan yang tidak sekadar responsif, tetapi juga proaktif.

Sayangnya, arah itu belum terlihat. Tidak ada paket kebijakan konkret dari tim ekonomi Prabowo yang menandai langkah strategis menghadapi tekanan eksternal. Bahkan komunikasi politik dari Kementerian Luar Negeri tampak liminal—terjebak antara menenangkan situasi dan mencari celah manuver. Ini berbeda dari respons era sebelumnya, seperti ketika Presiden SBY merespons krisis finansial global dengan paket stimulus dan diplomasi aktif di berbagai forum multilateral.

Tanpa ketegasan arah, Indonesia berisiko terjebak dalam posisi ambiguitas strategis—tidak cukup dekat untuk mendapat keuntungan dari kekuatan besar, tapi juga tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri. Di dunia yang makin memaksa setiap negara memilih posisi, ambiguitas bukan lagi kemewahan.

Menjawab Tantangan, Merumuskan Arah Baru

Di tengah tekanan global yang semakin mengerucut pada pertarungan antar blok kekuatan besar, negara-negara Selatan seperti Indonesia dituntut untuk tidak hanya menjadi pengikut arus. Ketika AS kembali ke proteksionisme dan Cina memperluas jejaring pengaruh melalui Belt and Road Initiative, muncul ruang kosong di antara kutub-kutub itu—ruang strategis yang hanya bisa diisi oleh negara-negara Selatan jika mereka mampu bersatu dan menyuarakan agenda bersama.

Momentum ini menuntut Indonesia untuk memimpin, bukan sekadar berpartisipasi. Politik luar negeri bebas aktif harus dimaknai bukan hanya sebagai kebebasan dari aliansi militer atau ekonomi, tetapi juga prinsip keberanian memperjuangkan kepentingan kolektif negara-negara Selatan. Dalam forum seperti G77, ASEAN, dan skema kerja sama Global South lainnya, Indonesia seharusnya mengambil peran sebagai penyusun narasi dan penggerak konsensus baru—berbasis keadilan ekonomi dan reformasi tata kelola global.

Untuk itu, Indonesia butuh pemimpin yang tidak hanya mampu meredam tekanan, tetapi juga piawai mengonversinya menjadi peluang. Politik luar negeri bebas aktif harus naik kelas dari prinsip ke strategi: bukan hanya bebas dari pakta, tapi bebas menentukan narasi; bukan sekadar aktif berpartisipasi, tetapi aktif memimpin agenda perubahan. Forum-forum seperti G77, ASEAN, dan skema Global South lainnya semestinya menjadi panggung, bukan ruang tunggu. Dan di panggung itu, Indonesia semestinya tampil sebagai produser, bukan figuran.

Sejarah tidak memberi tempat bagi yang ragu. Dalam setiap babak transisi global, mereka yang mampu melihat peluang di balik kekacauanlah yang membentuk wajah dunia selanjutnya. Indonesia berada di ambang babak baru itu. Tapi waktu tidak akan menunggu kita mengumpulkan keberanian. Prabowo bisa saja memilih jalan aman, menundukkan diri pada kalkulasi kompromistis antara tuntutan global dan tekanan domestik. Tapi dunia tidak sedang membutuhkan manajer status quo. Dunia menunggu mereka yang berani menjahit arah baru dari benang-benang lama yang nyaris putus.

Kini bukan sekadar soal bebas aktif atau Global South. Ini soal keberanian menjadi bangsa yang tidak hanya merespons sejarah, tetapi menuliskannya.

 

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP UNAIR

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular