H-1 Armuzna
Hari agung itu hampir tiba. Wuquf di Arafah sebagai puncak haji, tempat berkumpulnya pengakuan, pengharapan, dan kerendahan seorang hamba di hadapan Rabb-nya.
Dalam keheningan kamar hotel, menjelang fajar yang penuh makna, saya teringat satu nasihat menyentuh dari Ustadz Muhammad Sholeh Drehem, saat bersilaturahmi ke rumah sebelum berangkat haji:
“Jadilah Ibrahim dan Hajar di masa kini. Jangan hanya fokus pada rukun dan wajib haji, atau kesiapan fisik, tapi kuatkan pula ruh, adab, dan relasi selama ibadah.“
Beliau lalu mengajak kami merenungi firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 197, tentang tiga larangan utama dalam berhaji: rafats, fusuq, dan jidal. Tiga penjaga hati agar haji tak hanya sah secara syariat, tetapi juga berbekas dalam jiwa, menuju kemabruran sejati.
1. Menahan Rafats: Romantis yang Menjaga Kesucian
Rafats adalah segala yang menjurus pada syahwat; ucapan tidak pantas, rayuan yang tak pada tempatnya, hingga kelalaian menjaga pandangan.
Kami belajar menyampaikan cinta bukan dengan genggaman tangan, tapi dengan doa yang lirih. Bukan lewat rayuan, tapi lewat senyum yang menguatkan langkah.
Pagi tadi, saat berjalan di tengah keramaian, tanpa sengaja pandangan saya terpaku pada sesuatu yang tak semestinya.
Istri saya berbisik lembut namun tegas:
“Wahai Ibrahimku, jaga pandanganmu.”
Saya tersentak, lalu menunduk, tersenyum kecut, malu.
“Astagfirullah… Terima kasih, Hajarku. Kau bukan hanya penyejuk mata, tapi penjaga jalanku menuju mabrur.”
Kami tersenyum. Bukan karena ingin lucu, tapi karena kami tahu: inilah cinta yang hakiki. Saling menjaga, bukan saling menjatuhkan. Saling menuntun, bukan saling menghakimi.
2. Menjauhi Fusuq: Taat yang Saling Mengingatkan
Fusuq bisa hadir dalam bentuk paling halus: wajah yang masam saat lelah, keluhan kecil saat antre panjang, atau lupa bersyukur atas layanan petugas haji.
Kami mencoba menahan letupan kecil itu.
Sebab kami sadar, setiap langkah di Tanah Suci ini adalah bagian dari pengabdian.
Kami belajar dari Hajar, yang tak sekalipun mengeluh meski ditinggal di lembah gersang. Ia tak duduk pasrah, tapi berlari, antara Safa dan Marwah, dengan iman dan harap.
Kami pun ingin berlari. Bukan dengan emosi, tapi dengan semangat taat yang tumbuh bersama.
3. Menahan Jidal: Menang dengan Sabar, bukan Ego
Jidal adalah perdebatan, adu argumen yang sering muncul saat fisik lelah, emosi menipis, dan ekspektasi tak terpenuhi.
Kami belajar, haji bukan tempat mencari kemenangan ego. Haji adalah ladang menanam sabar, tempat kita menguji bukan orang lain, tapi diri sendiri.
Malam itu, usai thawaf wajib, saya tak bisa menggandeng tangan istri. Saya harus menemani jamaah lansia yang tertinggal.
Istri saya berbisik, dengan nada yang lebih perih daripada marah:
“Katanya mau jadi Ibrahim untuk Hajarnya… tapi aku justru thawaf sendiri. Ibrahimku ke mana?”
Saya menatap matanya penuh pengertian.
“Aku memang tak menggenggam tanganmu tadi… tapi kita tetap satu orbit. Aku hanya berjalan lebih pelan, menemani yang hampir tumbang.”
Lalu saya menambahkan pelan,
“Menjadi Ibrahim bukan soal selalu bersama, tapi tahu kapan harus mendampingi… dan kapan harus mendahulukan mereka yang paling lemah.”
Istri saya terdiam. Menunduk, menahan haru.
“Maafkan aku… Ternyata aku belum setegar Hajar.”
Saya tersenyum, menyentuh jemarinya.
“Dan aku belum sekuat Ibrahim. Tapi semoga kita terus saling menguatkan… sampai thawaf terakhir kita, di surga nanti.”
Cinta yang Tumbuh di Tanah Suci
Kami tidak hanya ingin menjadi pasangan yang tiba di Makkah.
Kami ingin menjadi pasangan yang juga sampai… pada derajat mabrur.
Menjadi “Ibrahim dan Hajar” masa kini: Yang saling menjaga, bukan saling menguji.
Yang sabar dalam kekurangan, syukur dalam kelimpahan.
Yang tidak menuntut kesempurnaan, tapi saling menyempurnakan.
Semoga haji ini tak hanya menorehkan kisah perjalanan,
tapi juga mengukir jejak kemabruran cinta—
yang terus tumbuh…
hingga ke surga.
FIRMAN ARIFIN
Dosen PENS, Jamaah Haji 2025 KBIH Nurul Hayat