
Pertanyaan apakah Morowali sedang mengulang tragedi ekologis Sumatera mungkin terdengar retoris. Namun sejatinya, pertanyaan itu merupakan alarm moral yang perlu segera dijawab. Indonesia terlalu sering kehilangan bentang alam penting karena industrialisasi yang berlari lebih cepat daripada kesadaran ekologis. Sumatera menjadi saksi paling gamblang dimana jutaan hektare hutan hilang, sungai dan danau tercemar, satwa terusir dari habitatnya, dan masyarakat lokal dipinggirkan di atas nama pertumbuhan ekonomi. Kini, Morowali yang merupakan pusat industri nikel yang menopang ambisi kendaraan listrik nasional, berada dalam dinamika serupa yang mengkhawatirkan. Apakah nasib Morowali akan sama dengan Sumatera? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat bukan hanya apa yang berlangsung di lapangan, tetapi pola pikir dan nilai ideologis yang membuat kerusakan ekologis terus berulang.
Dalam beberapa tahun terakhir, Morowali Industrial Park (IMIP) berkembang secara masif. Pemerintah dan dunia industri memujinya sebagai simbol keberhasilan ekonomi hijau sekaligus masa depan energi bersih Indonesia. Namun di balik slogan kemajuan itu, terbentang jejak deforestasi, degradasi pesisir, gangguan habitat satwa endemik, pencemaran udara dan perairan, hingga tekanan sosial yang dirasakan masyarakat sekitar.
Jika pola ini terasa familiar, itu karena Sumatera pernah berada pada fase yang sama. Industri pulp and paper, tambang batubara, dan perkebunan sawit dulu juga dibungkus narasi “kemajuan” dan “kesejahteraan.” Ketika narasi itu melekat, kritik sering dianggap sebagai hambatan bagi pembangunan. Padahal, filsafat lingkungan mengajarkan bahwa persoalan utamanya bukan semata-mata pada hadirnya industri, tetapi pada nilai moral yang menopang pengambilan keputusan. Ketika kemajuan dipahami sebagai peningkatan produktivitas tanpa kesadaran ekologis, kehancuran menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.
Tindakan manusia disebut benar bila menjaga integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik. Morowali, sebagaimana Sumatera dahulu, sedang kehilangan integritas itu. Hutan yang dulu menjadi habitat satwa kini terfragmentasi oleh penambangan. Sungai di sekitar kawasan industri berubah warna dan aroma. Satwa liar masuk ke permukiman karena ruang hidupnya menyempit.
Tragedi ekologis terjadi ketika manusia gagal melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas alam. Selama lahan dipahami hanya sebagai “aset produktif,” sungai sebagai “infrastruktur produksi,” dan hutan hanya sebagai “cadangan ruang ekspansi,” maka kerusakan menjadi konsekuensi logis. Lingkungan tidak lagi diperlakukan sebagai entitas moral yang berhak dihormati, tetapi sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas.
Kritik terhadap cara pandang antroposentris menegaskan bahwa makhluk hidup memiliki nilai intrinsik, bukan sekadar nilai ekonomi. Pertanyaan pentingnya sekarang adalah, apakah pembangunan di Morowali benar-benar kebutuhan vital masyarakat lokal, ataukah tuntutan pasar global terhadap nikel sebagai bahan baku industri baterai kendaraan listrik dunia?
Jika jawaban jujurnya adalah yang kedua, maka Morowali sedang berada pada jalur yang sama dengan Sumatera yakni memprioritaskan pertumbuhan ekonomi yang dinikmati segelintir pihak sambil mengorbankan kekayaan ekologis yang menopang kehidupan masyarakat luas. Dalam logika etika lingkungan, pembangunan semacam itu kehilangan legitimasi moralnya meski secara formal sah menurut hukum.
Kerusakan lingkungan tidak terjadi dalam ruang hampa; ia bertumpu pada struktur dominasi. Alam diposisikan sebagai “yang lain,” yang dapat dikorbankan demi kepentingan ekonomi dan politik. Di Morowali, struktur dominasi ini tampak jelas. Industri besar menguasai ruang geografis dengan skala masif. Masyarakat lokal kehilangan akses terhadap tanah dan laut yang selama ini menopang kehidupan mereka. Flora dan fauna terjepit di antara perluasan fasilitas industri dan pemukiman pekerja.
Kita mesti mengingat bahwa tragedi ekologis selalu bermula dari relasi kuasa yang timpang. Ketika suara masyarakat lokal tidak sejajar dengan kekuatan modal, dan ketika alam tidak diberi ruang sebagai subjek moral, maka hasil akhirnya dapat ditebak yaitu kerusakan yang sulit dipulihkan.
Jika dilihat melalui determinisme sejarah, Morowali memang tampak berada dalam pola berulang yakni percepatan industri, degradasi ekologis, konflik sosial, lalu ketergantungan ekonomi terhadap satu sektor. Namun determinisme bukanlah takdir. Sejarah dapat dibelokkan bila nilai dasar yang menjadi fondasinya berubah. Morowali masih memiliki peluang untuk tidak mengulang nasib Sumatera. Kesadaran ekologis masyarakat kini lebih tinggi dibanding dua dekade sebelumnya. Tekanan internasional terhadap praktik industri semakin kuat. Pemerintah pun memiliki ruang untuk memastikan bahwa ambisi menjadi pemain global kendaraan listrik tidak mengorbankan masa depan ekologis Indonesia.
Morowali belum, tetapi sangat mungkin, mengulang tragedi Sumatera jika pembangunan terus melihat alam hanya sebagai bahan baku industri. Kemajuan yang merusak kehidupan bukanlah kemajuan. Pembangunan yang meminggirkan alam pada akhirnya akan meminggirkan manusia sendiri. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Morowali akan seperti Sumatera, melainkan apakah kita berani belajar dari sejarah dan memilih arah berbeda. Masa depan Morowali adalah ujian moral Indonesia hari ini, dan jawabannya akan menentukan warisan ekologis apa yang kita tinggalkan bagi generasi mendatang. Entahlah.
M. KAFRAWI AL-KAFIAH SAMSU
Mahasiswa Program Doktoral FISIP Universitas Airlangga dan Dosen FISIP Universitas Tadulako



