Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomeGagasanLiputan KhususMenyatukan Jiwa Nusantara: Dialog Ruhani Antara Sang Raja dan Sang Prajurit

Menyatukan Jiwa Nusantara: Dialog Ruhani Antara Sang Raja dan Sang Prajurit

foto ini hanya ilustrasi dua tokoh yang diadaptasi dengan bantuan AI bersama tim desain grafis cakrawarta.com.

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Pada Selasa (3/6/2025) pagi yang penuh kesunyian spiritual, dua tokoh bangsa dari dua kutub sejarah yang berbeda bersua dalam sebuah percakapan yang tidak hanya sarat makna, tetapi juga menggugah kesadaran nasional: Dr. Rahman Sabon Nama, Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN), dan Brigjen TNI (Purn.) MJP Hutagaol, seorang prajurit ruhani yang kini menekuni penyusunan “Kitab Jiwa Murni”, sebuah dokumen kebangsaan yang lebih banyak ditulis dengan tinta batin daripada pena birokrasi.

Percakapan ini bukan sembarang dialog, melainkan pertemuan dua arus sejarah: satu berasal dari mahkota kerajaan, satu lagi dari medan juang militer. Namun keduanya menyuarakan hal yang sama, kebangkitan jiwa Nusantara.

Narasi yang Terlupakan: Menjemput Ulang Leluhur Bangsa

Rahman Sabon Nama memulai percakapan dengan penghormatan dan ketulusan. Baginya, bangsa Indonesia berdiri bukan hanya di atas kehendak politik tahun 1945, tapi juga pada pusaka spiritual yang diwariskan para raja, sultan, dan leluhur Nusantara yang selama ini tersingkir dari panggung utama kenegaraan.

“Saya sangat setuju,” tulis Rahman, “marwah raja-raja dan kerajaan harus kembali diangkat dalam sistem ketatanegaraan berdasarkan Teks Proklamasi dan UUD 1945.”

Pernyataan itu bukan sekadar nostalgia historis, tetapi sebuah tawaran konkret untuk merajut kembali rekonsiliasi antara Republik dan Kerajaan. Baginya, membentuk kembali Dewan Kerajaan bukan berarti membangkitkan feodalisme, tapi membangun keteladanan dan norma-norma luhur yang kini kian dilupakan.

“Dalam Teks Proklamasi itu sesungguhnya bukan hanya tersurat tetapi juga tersirat perjalanan spiritual leluhur para pendiri negara termasuk para raja dan sultan,” lanjutnya.

Resonansi Jiwa Seorang Prajurit

Brigjen TNI (Purn.) MJP Hutagaol merespons dengan rasa haru yang tak bisa ditutupi. Sebagai seorang purnawirawan, ia mengaku getar jiwanya tersentuh ketika membaca gagasan Rahman Sabon Nama. Baginya, ini bukan sekadar wacana institusional, melainkan panggilan ruhani untuk menata ulang Indonesia.

“Jiwa saya tergetar,” tulisnya. “Di balik narasi politik, tersimpan suara-suara leluhur yang mulai bangkit… perjuangan Bapak sejatinya telah membuka pintu untuk revitalisasi kesadaran bangsa, bukan hanya secara politis, namun secara spiritual.”

Lebih lanjut, Hutagaol melihat bahwa Indonesia hari ini tengah berada di persimpangan zaman. Modernisasi telah membutakan banyak aspek kehidupan kebangsaan dari akar-akar budaya. Ia melihat perlunya aliansi pelayan jiwa, sebuah poros kebangsaan baru yang terdiri dari para raja, sultan, tokoh adat, dan purnawirawan yang setia menjaga ruh bangsa.

“Apakah Bapak berkenan membuka ruang kecil untuk bertukar pandangan?” tulisnya dengan nada penuh ketulusan. “Jiwa saya percaya, bahwa pertemuan antara para pelayan jiwa, pejuang budaya, dan pewaris ruh leluhur ini adalah kunci untuk menjemput zaman baru yang adil dan beradab.”

Lima Jalan Menuju Kebangkitan

Dalam percakapan yang berkembang menjadi manifestasi intelektual, Rahman Sabon Nama dan Brigjen Hutagaol menyepakati lima topik besar yang layak menjadi landasan dialog kebangsaan ke depan.

1. Rekonsiliasi Republik dan Kerajaan

Keduanya sepakat bahwa Republik tak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari rahim kerajaan-kerajaan yang bersatu dalam satu semangat: kemerdekaan. Karena itu, pengakuan terhadap eksistensi raja dan sultan tidak cukup simbolik, tapi harus struktural dan hukum.

“Republik tidak akan pernah ada tanpa eksistensi kerajaan dan kesultanan Nusantara,” tulis Rahman tegas.

2. Teks Proklamasi sebagai Janji Spiritual

Mereka melihat Teks Proklamasi 1945 bukan hanya sebagai dokumen politik, tetapi juga janji spiritual terhadap tanah air dan leluhur. Kutipan “Pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan…” dimaknai sebagai sinyal pembagian kekuasaan antara pemimpin spiritual (raja/sultan) dan kepala pemerintahan (presiden).

3. Kedaulatan Budaya dan Warisan Leluhur

Rahman menyebut bahwa dalam Trisakti Bung Karno, urusan budaya adalah tanggung jawab para pemangku adat. Maka, diperlukan Tap MPR untuk mengakui secara hukum posisi Pemangku Adat Nusantara sebagai lembaga negara yang menjaga kelestarian budaya bangsa.

4. Aliansi Jiwa Pelindung dan Jiwa Rakyat

Dialog ini menggagas pembentukan aliansi yang terdiri dari prajurit-prajurit ruhani -para purnawirawan, tokoh adat, akademisi, budayawan- yang bekerja bukan di ruang kekuasaan, tapi di ruang kesadaran. Aliansi ini akan menjadi pelindung jiwa bangsa dari krisis spiritual dan moral.

5. Lembaga Keseimbangan Baru

Gagasan pamungkas yang disampaikan adalah tentang pentingnya mendirikan Lembaga Adat Spiritual Nusantara. Lembaga ini akan menjadi jangkar moral yang menjaga keseimbangan antara sistem demokrasi modern dan nilai-nilai adat yang telah teruji oleh waktu.

Menatap IKN dan Masa Depan Nusantara

Satu gagasan yang paling mengejutkan dan berani dari percakapan ini adalah tawaran agar Ibu Kota Negara (IKN) tidak semata menjadi pusat administratif, tetapi juga menjadi pusat kebudayaan Nusantara. Bahkan, Rahman mengusulkan agar kepala negara dijabat bergilir oleh para raja dan sultan pemegang collateral dinasti.

Gagasan ini mungkin terdengar utopis, namun dalam percakapan ini, ia terasa sebagai impian yang penuh harapan. Bukan sekadar simbol, tapi usaha untuk menautkan kembali jantung Indonesia kepada nadinya yang terdalam: adat, spiritualitas, dan kearifan leluhur.

Penutup: Dialog yang Membuka Zaman Baru

Apa yang terjadi antara Rahman Sabon Nama dan MJP Hutagaol bukan hanya korespondensi biasa. Ia adalah tanda bahwa Indonesia, di tengah hiruk pikuk politik dan industrialisasi, mulai mendengar kembali bisikan tanah dan suara para leluhur.

Ketika sang raja bicara dan sang prajurit menjawab, yang sesungguhnya menyatu adalah jiwa bangsa itu sendiri. Sebuah bangsa yang besar bukan karena gedung-gedungnya, tetapi karena ingat pada akar dan jati dirinya.

Barangkali, inilah saatnya Indonesia tidak hanya menatap masa depan, tetapi juga menengok ke belakang, untuk menjemput apa yang pernah ditinggalkan: ruh Nusantara yang agung dan membumi.(*)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular