SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Sejak Juni 2025, benua Eropa seperti dikurung di dalam tungku raksasa. Gelombang panas ekstrem melanda berbagai negara di sana, memaksa ribuan sekolah ditutup dan merenggut ribuan korban jiwa. Data resmi terbaru mencatat, lebih dari 2.300 orang meninggal dunia akibat panas mematikan ini hingga awal Juli 2025.
Pakar Teknik Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (FST Unair), Wahid Dianbudiyanto yang kini tengah menempuh studi doktoral di Belgia, menyebut fenomena ini sebagai ancaman nyata.
“Gelombang panas memang muncul setiap tahun belakangan ini, tapi skala dan dampaknya sekarang tidak normal. Ini memecahkan rekor suhu tertinggi dan memperparah krisis lingkungan,” ungkap Wahid, Rabu (16/7/2025).
Apa sebenarnya penyebab ‘neraka’ di Eropa ini? Wahid menjelaskan, setidaknya ada dua faktor utama yang saling menguatkan.
Pertama, fenomena cuaca alami. Sebuah sistem tekanan tinggi dari Afrika Utara telah menjebak udara panas dan kering di kawasan Eropa Barat, mempercepat kenaikan suhu di wilayah daratan. “Beberapa wilayah kehilangan efek pendinginan alami akibat kekeringan parah. Ditambah suhu permukaan laut Mediterania yang di atas normal, serta minimnya awan yang biasanya menghalangi sinar matahari,” paparnya menambahkan.
Namun, Wahid menegaskan bahwa faktor kedua justru lebih berbahaya, perubahan iklim. “Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca telah menaikkan suhu rata-rata bumi. Ini membuat gelombang panas terjadi lebih sering dan semakin ekstrem. Fenomena alam ini diperparah oleh perubahan iklim buatan manusia,” ujarnya.
Sebagai saksi langsung, Wahid mengaku kondisi saat ini di Belgia benar-benar menyiksa. “Mayoritas bangunan di Eropa memang tidak dilengkapi pendingin ruangan. Karena dulunya, cuaca panas ekstrem dianggap mustahil terjadi di sini. Sekarang? Kami seperti tinggal di oven raksasa,” keluhnya.

Dampak nyata dari gelombang panas bukan hanya soal kenyamanan. “Risiko kebakaran hutan, kekeringan, hingga lonjakan pemakaian listrik untuk pendingin ruangan menjadi masalah serius. Ironisnya, semua itu malah mendorong emisi karbon lebih besar,” tambahnya.
Wahid memberi peringatan keras: heatwave mematikan bukan hanya ancaman bagi Eropa. “Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sangat mungkin mengalaminya dalam beberapa tahun ke depan. Kita harus mulai bersiap dari sekarang,” ujarnya.
Menurutnya, ada sejumlah langkah yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi diantaranya memperkuat infrastruktur kesehatan; mendorong transisi energi terbarukan; merancang kota ramah iklim; melindungi pekerja luar ruangan dengan regulasi khusus; dan melakukan edukasi masyarakat soal risiko gelombang panas.
Bagi masyarakat umum, Wahid memberikan saran praktis: “Pantau terus prakiraan cuaca, perbanyak minum air putih, hindari aktivitas luar ruangan di siang hari, gunakan pakaian tipis, serta pastikan kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak tetap aman.”
Wahid mengingatkan bahwa krisis iklim bukan lagi soal teori. “Hari ini Eropa, besok bisa saja Indonesia. Karena perubahan iklim tidak kenal batas negara.
Fenomena heatwave di Eropa adalah alarm keras bagi seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perubahan iklim nyata adanya, dan ancaman cuaca ekstrem kini tak lagi bisa diabaikan.(*)
Editor: Abdel Rafi