SURABAYA – Pemerintah keluarkan Adendum Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Masa peniadaan mudik tersebut mulai berlaku sejak 6 Mei 2021 hingga 17 Mei 2021. Tahun ini merupakan kali kedua adanya peniadaan mudik, sehubungan dengan pandemi Covid-19.
Mudik merupakan bagian yang melekat dari Hari Raya Idul Fitri bagi masyarakat Indonesia. Ditinjau dari sudut pandang sejarah, mudik telah ada sejak masyarakat Indonesia mulai berurbanisasi. Hal itu karena banyak kota yang menjadi orientasi orang desa untuk mencari pekerjaan.
Guru Besar Fakultas llmu Budaya Universitas Airlangga (FIB Unair), Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S. S., M. Hum., mengatakan bahwa urbanisasi membuat masyarakat mulai merindukan kampung halamannya.
“Ini (urbanisasi, Red), mungkin setelah kemerdekaan, setelah banyak orang mencari pekerjaan di kota. Mungkin tahun 60an atau 70an dimana Kota Jakarta mulai didatangi orang dari berbagai desa,” imbuhnya.
Menurut Prof. Purnawan, bahwa desa ibarat sumber air. Hal itu karena sehubungan dengan konteks urbanisasi, desa merupakan asal dari orang-orang kota.
“Karena kita ini (orang-orang desa, Red) itu kan dianggap sumber orang kota kan dari desa dalam konteks urbanisasi itu,” tegasnya.
Terkait dengan asal-usul bahasanya, mudik berasal dari kata udik yang berarti ujung.
“Jadi orang desa dianggap udik gitu, jadi kita kembali kepada ujung. Sehingga kalau kita pulang kampung dikatakan mudik atau ‘menuju ke udik,” tutur dosen Program Studi Ilmu Sejarah tersebut.
Sementara itu terkait tradisi yang biasa terjadi dalam mudik, Prof. Purnawan menuturkan bahwa yang utama yakni bersilaturahim dan reuni yang diikuti dengan makan-makan bersama. Di samping itu, terdapat pula tradisi ziarah kubur serta berkebun bagi yang memiliki kebun.
Meskipun dalam masa pandemi beberapa aktivitas dapat dilakukan dalam jaringan, namun tidak berlaku bagi mudik.
“Terkait dengan ucapan selamat (Hari Raya Idul Fitri, Red) ya bisa lewat telepon, tapi itu bukan berarti mudik. Mudik tetap harus datang langsung karena tidak ada mudik online! Makanya dengan adanya pandemi ini kan, ya kita disuruh untuk menunda mudik, bukan menggantinya, ” jelas Prof. Purnawan.
Mengenai penundaan mudik, Prof. Purnawan menuturkan bahwa hal itu terlepas dari konteks Hari Raya Idul Fitri. “Kan bisa saja gak pas lebaran, saya tak mudik gitu yang artinya pulang ke tempat asal kita,” ungkapnya.
Prof. Purnawan juga menambahkan bahwa mudik di hari raya tetap dianggap sebagai sesuatu yang spesial. Karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam maka momen tersebut juga dijadikan sebagai tradisi meminta maaf kepada keluarga, sanak saudara, dan sebagainya. Sementara itu, menurutnya, mudik tidak hanya terjadi di Indonesia.
“Fenomena semacam itu terjadi di banyak negara juga. Jadi ketika ada liburan-liburan tertentu yang dianggap bisa untuk ketemu keluarga ya mereka berbondong-bondong untuk pulang,” pungkas Purnawan.