
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di tengah gegap gempita klaim pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, sebuah kenyataan pahit mencuat: Indonesia menjadi negara dengan tingkat kemiskinan tertinggi kedua di Asia Tenggara. Data terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa lebih dari 60% rakyat negeri ini masih hidup di bawah garis kemiskinan global.
Dalam situasi ini, Prof. Dr. Bagong Suyanto, pakar sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), angkat bicara. Dengan suara lantang, ia menyebut bahwa pendekatan negara dalam menangani kemiskinan masih jauh dari kata memadai.
“Program bantuan tunai seperti PKH dan BPNT itu hanya memperpanjang nafas orang miskin, bukan membuat mereka bangkit. Negara harusnya hadir untuk memberdayakan, bukan sekadar membagi-bagi belas kasihan,” tegasnya.
Menurut Prof Bagong, selama negara masih terjebak pada pendekatan karitatif yang miskin visi jangka panjang, maka kesenjangan sosial hanya akan semakin menganga. Bantuan tunai dan sembako, katanya, hanyalah solusi tambal sulam yang tidak menyentuh akar persoalan.
“Kemiskinan di Indonesia bukan sekadar soal uang. Ini soal struktur sosial yang timpang, literasi yang rendah, dan kebijakan yang tidak berpihak pada kaum lemah,” tandasnya.
Karena itulah, ia menyerukan perubahan paradigma: dari negara pengasih menjadi negara pemberdaya. Memberi modal tanpa fondasi keterampilan dan aset produksi, ujarnya, hanya akan menciptakan ketergantungan.
“Tukang becak butuh becak sendiri, bukan sekadar uang bensin. Penjahit butuh mesin, bukan hanya pelatihan,” ujarnya dengan nada penuh kritik.
Lebih jauh, Prof Bagong mengingatkan bahwa kemiskinan adalah masalah multidimensi. Ia menyebut hanya 20% kemiskinan disebabkan oleh faktor ekonomi. Sisanya, kata dia, bersumber dari pendidikan yang terabaikan, akses informasi yang timpang, hingga diskriminasi struktural yang membunuh peluang sejak awal.
“Jangan terus-menerus menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai mantra. Kalau yang tumbuh cuma usaha besar, lalu siapa yang bela si kecil?” ujarnya dengan nada getir.
Menutup pernyataannya, Prof Bagong menyerukan revolusi kebijakan: bangun ketahanan ekonomi dari bawah, kuatkan akar rumput, dan hentikan ketergantungan pada korporasi besar.
“Bila negara ingin adil, maka bangunlah kekuatan dari rakyat kecil. Jangan biarkan mereka terus jadi penonton di negerinya sendiri!” pungkas Prof Bagong. (*)
Editor: Abdel Rafi