Kemenangan kembali Donald Trump dalam pemilu AS 2024 bukan sekadar kemenangan politik biasa. Slogan “Make America Great Again” atau “MAGA” yang ia usung selama ini, kini lebih dari sekadar semboyan. MAGA adalah cerminan janji akan kebangkitan Amerika —atau lebih tepatnya, nostalgia terhadap masa lalu yang dipandang “hebat” oleh sebagian masyarakat AS.
Namun, makna kata “Again” dalam slogan ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah Amerika pernah “kecil”? Di bidang apa Amerika pernah kalah dari negara lain, misalnya dari China? Atau mungkinkah Amerika merasa kalah dalam menghadapi dirinya sendiri? Mengapa ada kebutuhan untuk menjadi “hebat” kembali?
Bagi Trump dan pendukung “ultra-nasionalis”-nya, ini bukan sekadar kebanggaan nasional, melainkan dorongan untuk mengembalikan Amerika pada “masa kejayaan” yang didambakan. Namun, bagi siapa sebenarnya kejayaan itu? Apakah untuk seluruh rakyat atau hanya segelintir pihak?
Di Indonesia, Prabowo Subianto hadir dengan semangat yang mirip lewat slogan “Indonesia Raya” —sebuah kata yang juga terpatri dalam nama partainya, Gerindra (Gerakan Indonesia Raya). Makna “Raya” sendiri mencerminkan kebesaran, kekuatan, atau kemegahan, hampir serupa dengan “Great” dalam MAGA.
Namun, ada perbedaan besar. Jika MAGA merujuk pada kerinduan akan kejayaan masa lalu, “Indonesia Raya” lebih merupakan visi masa depan: gambaran Indonesia yang bersatu, makmur, mandiri, dan dihormati di dunia internasional. Dalam pidato perdananya sebagai presiden, Prabowo menggambarkannya dengan istilah Islami, baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
Prabowo mengedepankan nasionalisme inklusif dengan jargon seperti “Merah Putih” dan “Bela Negara,” yang menekankan persatuan, gotong royong, dan keadaban. Ini kontras dengan retorika eksklusif Trump yang cenderung memisahkan bangsa Amerika menjadi “kami” versus “mereka”.
Dari sisi kepribadian dan gaya kepemimpinan, kedua tokoh ini jelas memiliki pendekatan yang berbeda terhadap kekuasaan. Trump, yang tidak berlatar belakang militer, lebih mengandalkan gaya retorika keras dengan sikap “ultra-nasionalis” yang anti-imigran, anti-globalisme, dan proteksionis. Dengan slogan “America First,” Trump sering membesar-besarkan ancaman eksternal sebagai cara untuk mengobarkan nasionalisme.
Di sisi lain, Prabowo, seorang jenderal militer yang disiplin, melihat kepemimpinan sebagai amanah untuk menjadi pengayom, bukan pengkhotbah populis. Sikapnya yang cenderung tegar mencerminkan ketertiban dan kerja keras, menjauhkan nasionalisme Indonesia dari ekstremisme dan polarisasi.
Slogan MAGA dan pendekatan “ultra” ala Trump juga membawa implikasi geopolitik yang tidak kecil. Kebijakan ekonomi proteksionisnya menekan pasar global, yang bisa berdampak pada ekspor Indonesia. Di sisi lain, pendekatan Trump yang cenderung skeptis terhadap perubahan iklim —bersama dorongan energi fosilnya— berpotensi memengaruhi upaya global mitigasi perubahan iklim.
Sebagai negara rentan terhadap dampaknya, Indonesia bisa menghadapi tantangan besar akibat sikap ini. Prabowo, lewat visinya tentang “Indonesia Raya,” melihat potensi memperkuat basis nasional untuk menghadapi tantangan global tanpa langkah ekstrem.
Jika Amerika merasa perlu menjadi “Great Again,” Indonesia, dengan visi “Raya”-nya, menggemakan harapan masa depan yang lebih cerah dan belum sepenuhnya terealisasi. Meski kita sadar bahwa “Raya” adalah impian yang memerlukan upaya panjang untuk mencapainya.
Kedua slogan itu, MAGA dan Indonesia Raya, lebih dari sekadar kata-kata. Keduanya adalah cerminan ambisi nasional masing-masing bangsa. Namun, bagi Prabowo, jalan menuju kejayaan lebih seperti strategi kolektif yang matang dan pragmatis, berbeda dari pendekatan Trump yang sarat romantika masa lalu.
Di tengah arus politik global yang kian kompleks, tantangan Indonesia bukan sekadar perlu atau tidaknya mengikuti alur politik “ultra” atau “besar,” tetapi bagaimana menjaga kepentingan nasional dalam kerangka dunia yang lebih adil dengan kebijaksanaan yang realistis. Inilah harapan kita semua.
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 7 November 2024
AHMADIE THAHA
Kolumnis