
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Wacana penggabungan dua raksasa teknologi transportasi online, Grab dan GoTo, makin santer diperbincangkan. Meski belum ada konfirmasi resmi dari kedua pihak, sinyal-sinyal arah merger ini sudah cukup membuat banyak pihak waspada, terutama karena taruhannya bukan hanya bisnis, tetapi juga masa depan persaingan sehat, pilihan konsumen, dan penghidupan jutaan pengemudi ojek online.
“Ini alarm besar untuk kita semua,” ujar Prof. Dr. Rahmat Setiawan, SE, MM, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), saat diminta tanggapannya atas isu tersebut.
Rahmat menilai, jika benar Grab dan GoTo bergabung, maka perusahaan hasil merger ini akan menguasai sekitar 91% pangsa pasar transportasi online di Indonesia. Angka ini bukan sekadar dominasi, tetapi sudah berada di titik rawan monopoli.
Menurut Rahmat, GoTo sejauh ini telah menjadi simbol kemandirian digital nasional, sebuah startup lokal yang mampu bersaing di kancah global. Namun jika akhirnya melebur ke dalam struktur Grab yang berbasis di Singapura, ini bukan sekadar keputusan bisnis biasa.
“Kalau GoTo dilebur, ini seperti kita sedang menjual kedaulatan ekonomi digital kita. Ini bukan merger, ini potensi penyerahan benteng terakhir kita ke tangan asing,” tegasnya.
Rahmat menjelaskan, dampak dari dominasi tunggal di pasar akan sangat luas. Salah satunya adalah kemungkinan besar terjadinya predatory pricing—strategi di mana harga ditekan serendah mungkin untuk menyingkirkan pesaing, lalu dinaikkan setelah pasar dikuasai sepenuhnya.
“Kalau mereka sudah jadi satu, bisa saja awalnya harga murah karena efisiensi. Tapi begitu kompetitor tumbang, siapa yang bisa mengontrol kalau harga naik drastis? Konsumen akan jadi korban pertama.”
Selain itu, monopoli semacam ini akan mematikan semangat inovasi. Tanpa persaingan, tak ada insentif untuk memperbaiki layanan, meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi, atau berinvestasi dalam fitur baru. “Kita akan terjebak dalam kenyamanan palsu yang pada akhirnya merugikan semua orang,” ujar Rahmat.
Bagi para pengemudi ojek online yang selama ini menggantungkan penghasilan dari bermain di dua aplikasi secara bersamaan, merger ini bisa jadi mimpi buruk. Satu aplikasi berarti satu sumber pesanan. Bila satu perusahaan menjadi penguasa mutlak, maka kontrol sepenuhnya ada di tangan mereka.
“Pendapatan para driver bisa anjlok. Dulu bisa pilih antara Gojek dan Grab. Sekarang? Tidak ada pilihan. Sistem bisa seenaknya menurunkan insentif, karena tidak ada tekanan kompetitor,” jelas Rahmat.
Masyarakat Diminta Tak Diam dan Harus Bersuara
Di tengah kemungkinan dampak negatif ini, Rahmat menegaskan perlunya kontrol sosial dari masyarakat sipil. Akademisi, pakar, media, dan publik luas harus bersatu untuk mengkritisi dan menolak merger yang merugikan kepentingan nasional.
“Kalau masyarakat diam, kalau kampus dan media bungkam, maka kita semua ikut bersalah. Ini bukan cuma soal ekonomi, ini soal masa depan siapa yang berkuasa atas hidup kita sehari-hari,” tegasnya.
Rahmat juga mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan pemerintah untuk bersikap tegas, serta menilai isu ini bukan sebagai urusan bisnis semata, tapi sebagai persoalan publik dan kedaulatan digital nasional.
Apakah ini awal dari era monopoli digital di Indonesia? Ataukah masyarakat bisa menggagalkan langkah senyap ini sebelum terlambat? Wacana merger Grab-GoTo bukan hanya cerita korporasi—ini soal kita semua.(*)
Editor: Tommy dan Rafel