Thursday, February 13, 2025
spot_img
HomeGagasanGaza, Hamas, dan Israel dalam Sebuah Khutbah Jumat

Gaza, Hamas, dan Israel dalam Sebuah Khutbah Jumat

Gencatan senjata telah dicapai oleh Hamas dan Israel setelah kedua entitas tersebut berperang selama lebih dari satu tahun. Namun dunia internasional perlu menunggu apakah gencatan senjata ini akan bertahan lama atau tidak. Pasalnya, tentara Israel masih melakukan pelanggaran gencatan senjata dengan melakukan beberapa kali penembakan terhadap rakyat Gaza. Selain itu, akar masalah berupa penjajahan dan penindasan terhadap rakyat Palestina masih belum terselesaikan. Namun apapun itu, setidaknya gencatan senjata ini patut disyukuri dengan harapan segera terjadi rekonstruksi dan pemulihan di Gaza.

Topik Khutbah Jumat

Merujuk pada perang dan gencatan senjata di Gaza pada Januari 2025, penulis teringat pada khutbah shalat Jumat di sebuah masjid di Jawa Timur beberapa minggu lalu. Dalam khutbahnya, sang khatib shalat Jumat menyinggung masalah Gaza, Hamas, dan Israel. Menurut khatib tersebut, perang antara Hamas dan Israel telah menyebabkan kerusakan massif di Gaza dengan puluhan ribu orang terbunuh. Hal ini patut disesalkan. Tentu pembahasan mengenai konflik Palestina-Israel pada khutbah Jumat di hari itu adalah topik yang menarik. Pasalnya, pada umumya, khutbah Jumat diisi dengan materi-materi monoton dan membosankan sehingga membuat jamaah Jumat tertidur. Namun tidak pada hari Jumat tersebut yang diisi dengan topik hangat seputar perang Hamas-Israel.

Namun demikian, penulis “terhentak” dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang dikemukakan khatib di shalat Jumat tersebut. Menurut sang khatib, kehancuran massif yang dialami Gaza adalah akibat dari tindakan ekstrim Hamas. Sang khatib berpendapat bahwa pemahaman agama yang salah dari kelompok Hamas telah membawa kelompok tersebut kepada tindakan ekstrim dengan  menyerang Israel. Serangan ini lantas berkonsekuensi pada tindakan balasan keras dan masif dari Israel yang menyasar seluruh Gaza. Kesimpulannya, karena menganut pemahaman yang salah dan ektrim tersebut, Hamas menyerang Israel, sehingga sebagai balasannya adalah Israel menyerang Gaza. Dalam khutbahnya, sang khatib seolah menjadikan Hamas sebagai “tertuduh utama” bagi kehancuran Gaza dan terbunuhnya puluhan ribu warga sipil.

Pernyataan lain dari ustadz yang “menghentakkan hati” penulis, adalah bahwa tidak dibenarkan untuk memerangi Israel. Hal ini dikarenakan orang Israel identik dengan Yahudi yang masih termasuk anak keturunan Nabi Ibrahim. Artinya, mereka masih dalam satu tradisi keturunan yang sama dengan bangsa Arab dan umat Islam. Intinya, Islam yang penuh rahmat tidak mengajarkan untuk memerangi sesama anak keturunan Nabi Ibrahim.

Mempertanyakan Argumen sang Khatib

Khatib shalat Jumat tersebut pasti orang yang otoritatif untuk menjelaskan permasalahan agama. Mungkin saja sang khatib tersebut bergelar kiai haji atau ustadz, sehingga patut kita hormati sebagai orang yang memiliki otoritas sosial dalam memberikan khutbah kepada umat. Hanya saja, menurut penulis, argumen-argumen yang disampaikan sang khatib agak ganjil. Pertama, kita memang boleh tidak setuju terhadap pemahaman agama sebuah kelompok, termasuk tentunya pemahaman agama dari kelompok Hamas. Hanya saja apa yang dilakukan Hamas dengan memerangi Israel juga bukan tanpa konteks. Tindakan Hamas tidak terlepas dari konteks perlawanan terhadap penjajahan, penindasan, kekerasan struktural pihak Zionis Israel yang terjadi selama berdekade-dekade. Bukankah selama berdekade-dekade rakyat Palestina mengalami pengusiran, pemblokiran, pembunuhan, pembantaian yang dilakukan oleh Zionis Israel? Bukankah kondisi 2 juta rakyat Gaza sangat tertekan akibat pembatasan ketat oleh Israel dengan pemblokadean darat, udara, dan laut? Dalam konteks itu, bukankah melakukan perlawanan adalah hal yang wajar?

Tidak terhitung tokoh maupun akademisi internasional yang menggambarkan penderitaan rakyat Palestina dan Gaza. Ambil contoh misal, Ilan Pappe-seorang akademisi dan sejarawan terkemuka asal Israel-misalnya mendeskripsikan bahwa pada 1948, Israel telah melakukan pembersihan etnis terhadap bangsa Palestina. Sejak 1948, Gaza lantas menjadi salah tempat penampungan bagi warga Palestina yang terusir dari wilayah Palestina lainnya. Gaza lantas selalu mendapat tekanan bertubi-tubi dari Israel, termasuk terjadi upaya meracuni sumur-sumur di Gaza oleh Israel. Selain itu, Gaza telah lama menjadi target pengeboman oleh tentara Israel yang terhadi hingga kini. Banyak pula tokoh internasional yang mengilustrasikan bahwa Gaza adalah “penjara terbesar” di dunia akibat blokade dan pembatasan ketat yang dilakukan Israel di wilayah tersebut. David Cameron- PM Inggris periode 2010-2016 misalnya, pada 2010 pernah mengkritik Israel akibat tindakan blokade ke Gaza yang menjadikan kawasan tersebut sebagai “prison camp.” Tekanan terhadap Gaza berlanjut hingga kini. Karena itu tidakkah wajar, dalam kondisi tertindas tersebut warga Gaza melakukan resistensi dan perlawanan terhadap Israel?

Bagaimana dengan argumen sang khatib yang menyatakan bahwa tidak boleh memerangi Israel karena mereka adalah anak keturunan Nabi Ibrahim? Tentu penulis tidak berkapasitas menjawab ini karena penulis adalah orang awam dalam bidang agama. Hanya saja patut kita pertanyakan, apakah memang terkonfirmasi bahwa orang-orang Israel modern saat ini benar-benar memiliki nasab yang tersambung hingga Nabi Ibrahim? Apakah ada jaminan bahwa orang-orang Israel modern tidak menciptakan mitos-mitos yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim? Pun jika memang orang Israel modern adalah benar-benar keturunan Nabi Ibrahim, lantas apa hal yang membenarkan mereka menindas dan merepresi orang dan kelompok lain? Pertanyaan ikutannya adalah, Bukankah di kitab suci, Tuhan pun mengisyaratkan bahwa tidak semua keturunan Nabi Ibrahim itu berbuat baik dan beramal saleh. Justru ada sebagian di antara mereka yang terjatuh kepada kedzaliman, merugikan sesama manusia, mengubah kitab suci, melanggar perintah Tuhan serta membangkang terhadap Tuhan itu sendiri? Lantas apa yang salah dengan melakukan perlawanan terhadap orang-orang semacam itu?

Merindukan sang Khatib

Sekali lagi, tentu sang khatib dalam shalat Jumat tersebut adalah seorang yang ahli dalam bidang agama. Ia adalah orang yang otoritatif dalam menyampaikan pencerahan terhadap umatnya. Hanya saja jika penyampaian materi khutbah tidak dibangun atas pemahaman dan argumen yang benar, tentu kita layak khawatir bahwa apa yang disampaikannya justru berpotensi menggiring umat pada pemahaman yang tidak tepat. Dalam konteks ini, umat akan digiring untuk sibuk menyalahkan pihak yang sedang berjuang melawan penindas daripada menyalahkan sang penindasnya. Lebih jauh, penulis khawatir bahwa sang khatib tidak memberi pencerahan kepada umat namun justru akan “meninabobokkan” umat. Hanya saja disayangkan bahwa pemahaman dan argumen dari kiai atau ustadz tersebut disampaikan pada momentum saat beliau mengisi khutbah Jumat, yang artinya tidak memungkinkan bagi penulis untuk berdiskusi dua arah dengan sang khatib.

 

PRIHANDONO WIBOWO

Dosen FISIP UPN Veteran Jawa Timur

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular