Surabaya, – Fenomena calon tunggal dan kotak kosong semakin marak terjadi pada Pilkada Serentak 2024. Munculnya kotak kosong ini menimbulkan kekhawatiran terkait partisipasi pemilih dan kualitas demokrasi pada berbagai wilayah di Indonesia. Apalagi dalam perhelatan Pilkada kali ini jumlah kotak kosong meningkat. Jika pada Pilkada terakhir pada tahun 2020 lalu, jumlah kotak kosong ada di angka 25, maka pada Pilkada yang untuk pertama kalinya dilaksanakan serentak seluruh Indonesia ini mencapai 41.
Menurut pengamat politik Universitas Airlangga, Hari Fitrianto, fenomena kotak kosong bukanlah indikasi dari krisis demokrasi, melainkan lebih kepada masalah teknis terkait penjadwalan pemilu yang kurang ideal.
“Fenomena kotak kosong itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan krisis demokrasi. Melainkan, hanya soal pengaturan jadwal antara pemilu nasional dengan pilkada yang terlalu dekat,” ujar Hari -sapaan akrabnya- pada media ini.
Karena itulah, Hari menekankan betapa pentingnya prinsip timely manner dalam penyelenggaraan suatu pemilu. Dalam prinsip ini, pemilu harus dirancang untuk memungkinkan partisipasi maksimal dari masyarakat. Sayangnya, menurut Hari, ambisi untuk melaksanakan pilkada serentak di tahun ini belum diiringi dengan pertimbangan waktu yang matang.
“Dengan menyerentakkan antara pemilu nasional dengan pilkada, partai politik dan calon-calon pemimpin di daerah tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi,” jelasnya.
Fenomena kotak kosong, lanjut Hari, memiliki dampak signifikan terhadap partisipasi pemilih. Ia juga menyoroti asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa calon tunggal otomatis akan menang. Menurutnya, hal ini akan semakin menurunkan semangat masyarakat untuk ikut serta dalam proses demokrasi tersebut.
“Hanya ada satu kandidat yang bekerja keras menghadirkan pemilih ke TPS. Sementara itu, kotak kosong tidak memiliki tim sukses, sehingga membuat orang menjadi enggan atau malas datang ke TPS,” ujarnya.
Menurut Hari, apabila kotak kosong menang dalam pilkada, dampaknya pun akan besar bagi masyarakat setempat. Pasalnya, kepemimpinan akan diisi oleh pejabat sementara yang ditunjuk pemerintah pusat.
“Pejabat tersebut bisa berasal dari berbagai kalangan yang tidak dipilih secara demokratis oleh rakyat. Termasuk birokrat, kementerian, atau bahkan kepolisian,” terangnya.
Namun, Hari juga menegaskan bahwa kotak kosong tidak bisa dimaknai sebagai bentuk protes politik dari masyarakat. Menurutnya, masalah ini timbul karena kesalahan asumsi dalam pembentukan undang-undang pemilu.
“Pembuat undang-undang mengasumsikan bahwa semakin serentak pemilu dilakukan, semakin baik. Namun, yang sebenarnya diperlukan adalah pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah,” katanya.
Sebagai pengamat politik, Hari menyarankan agar regulasi terkait pelaksanaan pemilu diatur kembali. “Pemilu nasional dan pemilu daerah sebaiknya tidak dilakukan bersamaan. Jika pemilu nasional, misalnya, dilakukan di tahun 2024, maka pemilu daerah idealnya dilaksanakan dua tahun setelahnya,” tegas pria berkacamata itu.
Dengan pemisahan jadwal ini, Hari berharap partai politik dan calon pemimpin daerah dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik. Dengan begitu, partisipasi masyarakat dalam pemilu dapat meningkat dan fenomena calon tunggal dan kotak kosong akan berkurang.
(khefti/rafel)