Thursday, May 8, 2025
spot_img
HomeEkonomikaFarid Makruf: Tembakau Madura adalah 'Tambang Emas' yang Terlupakan

Farid Makruf: Tembakau Madura adalah ‘Tambang Emas’ yang Terlupakan

Para petani tembakau Madura dengan tembakau Campaloknya di Sumenep. (foto: M. Faizi)

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Daya Alam Lemhannas RI, Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A., menyoroti peran besar tembakau Madura sebagai sumber kehidupan masyarakat, sekaligus kontribusinya yang signifikan terhadap penerimaan negara.

Meski demikian, Farid menyebut bahwa para petani tembakau di Madura belum sepenuhnya mendapatkan perhatian dan perlindungan yang adil dari negara.

“Madura memang tidak memiliki gunung emas seperti Papua, tapi kami memiliki tambang emas yang lain: tembakau. Di balik daun-daun itu, ada peluh dan harapan masyarakat,” ujar Farid dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Cakrawarta.com, Kamis (8/5/2025).

Tembakau Madura, khususnya jenis Campalok yang tumbuh di kawasan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep misalnya, dikenal memiliki kualitas tinggi. Harganya bisa mencapai Rp 5 juta per kilogram, bahkan sebagian besar sudah dibeli jauh sebelum masa panen tiba.

Namun, Farid mencatat tidak semua petani bisa merasakan keberuntungan itu. Perbedaan kualitas tanah, keterbatasan lahan, serta permainan harga di lapangan menyebabkan ketimpangan yang tinggi antar petani.

Di sisi lain, industri hasil tembakau (IHT) secara nasional menyerap jutaan tenaga kerja, dengan kontribusi signifikan berasal dari Jawa Timur. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur tahun 2023, sektor ini menyerap lebih dari 387.000 petani dan buruh tani, serta 90.000 tenaga kerja pabrik.

Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A. (Foto: Dokumen Pribadi)

“Di Madura sendiri, ada sekitar 95.895 kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari tembakau. Jumlah itu belum termasuk anak dan menantu yang ikut bekerja,” kata Farid.

Namun demikian, ia menyoroti ketimpangan dalam penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Pada 2024, Jawa Timur menerima Rp 2,77 triliun atau 55,73 persen dari total nasional, namun banyak petani yang merasa hanya mendapat dampak tak langsung.

“Dana DBHCHT lebih banyak digunakan untuk pengawasan rokok ilegal dan program kesehatan. Sementara petani tembakaunya hanya dapat sisa. Mereka merasa diabaikan dalam kebijakan,” tutur Farid.

Ia menambahkan bahwa banyak petani mengusulkan pembentukan koperasi berbasis desa untuk memperkuat posisi tawar. Hal ini dinilai selaras dengan rencana pemerintah pusat membangun koperasi Merah Putih di berbagai daerah.

“Petani ingin keluar dari jerat tengkulak. Mereka ingin berdiri sendiri. Tapi dibutuhkan keberpihakan dan kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan mereka,” imbuhnya.

Farid menegaskan bahwa tembakau bagi masyarakat Madura bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan warisan budaya dan identitas. Karena itu, negara disebut perlu hadir secara nyata dalam memastikan keadilan bagi para petani.

“Petani tembakau bukan pencari rokok, mereka pencari nafkah. Mereka bukan pembuat racun, tapi penyedia bahan mentah yang menopang ekonomi nasional. Ketika negara menikmati manisnya cukai, petani juga harus merasakan manisnya kerja keras mereka,” pungkasnya. (*)

Kontributor: Tommy

Editor: Abdel Rafi 

Foto: Illustrator Cakrawarta

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular