JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Mati listrik massal (blackout) yang melanda Spanyol dan Portugal pada 28 April 2025 menjadi peringatan penting bagi negara-negara yang tengah mendorong transisi energi. Hal ini disampaikan oleh mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, Kamis (8/5/2025).
Menurut Arcandra, hingga kini penyelidikan resmi terkait penyebab blackout masih berlangsung. Namun, sejumlah data awal menunjukkan bahwa sistem kelistrikan kedua negara saat itu sangat bergantung pada sumber energi terbarukan, yang bersifat tidak stabil.
“Dari data yang ada, saat kejadian lebih dari 70 persen energi disuplai oleh pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga bayu (PLTB),” ujarnya. “Ini tentu menjadi catatan penting karena kedua pembangkit tersebut bersifat intermiten—sangat tergantung pada kondisi cuaca.”
Arcandra menjelaskan bahwa sistem interkoneksi di Eropa Selatan memang selama ini dianggap mumpuni. Namun, tingginya penetrasi energi terbarukan yang tidak stabil bisa memicu ketidakseimbangan daya, yang berujung pada gangguan serius di jaringan listrik.
Selain faktor intermitensi, Arcandra juga menyinggung kemungkinan lain penyebab blackout, seperti kerusakan peralatan di gardu induk, kelebihan beban, atau kegagalan sistem proteksi. Namun ia menyebut, dugaan serangan siber atau sabotase telah ditepis oleh otoritas Spanyol.
“Yang jelas, blackout selama hampir 10 jam itu melumpuhkan layanan vital—transportasi, telekomunikasi, bahkan menimbulkan korban jiwa akibat kebakaran dan keracunan gas dari penggunaan genset,” katanya.
Arcandra menekankan bahwa transisi energi tidak cukup hanya dengan beralih dari energi fosil ke energi bersih. Menurutnya, perlu ada perencanaan jangka panjang dan terintegrasi, termasuk pembaruan infrastruktur kelistrikan, dari pembangkit, gardu induk, hingga jaringan transmisi.
“Energi transisi bukan sekadar soal menurunkan emisi karbon, tapi soal kestabilan dan keandalan sistem kelistrikan nasional. Tanpa itu, risiko blackout akan terus mengintai,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan baterai penyimpanan sebagai cadangan energi terbarukan belum menjadi solusi mutlak, apalagi jika infrastruktur kelistrikan belum memadai.
“Kalau negara sekelas Spanyol dan Portugal saja bisa blackout dengan sistem interkoneksi dan smart grid mereka, apalagi negara-negara yang infrastrukturnya belum sekuat itu,” paparnya.
Arcandra berharap Indonesia bisa belajar dari peristiwa tersebut dan menyusun strategi transisi energi secara serius dan menyeluruh.
“Energi terbarukan penting, tapi harus diikuti dengan sistem yang andal,” pungkasnya. (*)
Editor: bustomi