Thursday, April 18, 2024
HomeSosokDaru Priyambodo: Dari Dosen, Wartawan, Hingga Juragan Kuliner

Daru Priyambodo: Dari Dosen, Wartawan, Hingga Juragan Kuliner

 

Sekitar pukul 19.10 tadi malam (Jumat, 11/12/2020), Daru Priyambodo masih mengirim komentar di grup Whatsapp. “Yoi, ndhak ada hubungannya dengan rahmatan lil alamin, apalagi dengan Kang Rahmat Riyadi”. Rupanya, itu kiriman terakhir dia di grup tersebut.

Pagi tadi (Sabtu, 12/12/2020) sekitar pukul 09.30 WIB, di grup Whatsapp yang lain, tiba-tiba ada yang mengabarkan, bahwa Daru Priyambodo telah meninggal. Usai membaca selintas, seketika saya telepon istrinya (Ninik Dwi Hantini) yang sama-sama lulusan sosiologi dari FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Tangis Ninik pun pecah menceritakan wafatnya suami tercintanya itu.

Saya, Daru, dan Ninik kenal dekat sejak awal kuliah tahun 1982. Sejak dulu, pembawaan Daru selalu suka bercanda, tepatnya slengekan. Postingan dia di atas merupakan salah satu contoh, kala dia mengaitkan ungkapan rahmatan lil alamin dengan nama Rahmat yang merupakan anggota grup Whatsapp.

Suatu saat, Daru mengirim foto bersama teman-teman di grup Whatsapp. Seorang teman bernama Tia tiba-tiba nyeletuk, “Saya tidak ada”. Daru pun langsung menyela,” Tia yang moto”.

Kemudian teman lain menyahut,”Soni juga tidak ada”. “Ooo berarti Soni dan Tia yang moto, kameranya dipegang mereka berdua,” sahut Daru. Keruan yang lain pun memberi komentar dengan mimik tertawa.

Pria bertinggi 184 cm dan ayah dua anak itu juga suka ceplas-ceplos. Suatu ketika, kami sedang berdiskusi tentang kondisi bangsa. Beberapa teman ikut berkomentar. Ada pula teman saya seorang pegawai negeri yang ikut memberi pandangan. Daru pun lalu menukas ucapan teman saya itu dengan kalimat,”Ah itu jawaban khas seorang birokrat”. Lantaran diucapkan sembari tersenyum, teman yang disindir pun tidak tersinggung.

Gaya ceplas-ceplos itu pula yang membawa Daru untuk menjadi penanggung jawab rubrik Rehat di Republika. Rubrik kecil di pojok kiri-bawah itu memang berisi kritikan dan sindiran jenaka terhadap kebijakan pemerintah, ucapan pejabat, maupun kondisi bangsa saat itu.

Ungkapan tak terduga yang sering meluncur dari bibir Daru segaris dengan perjalanan hidupnya yang juga tak bisa ditebak. Begitu lulus dari FISIP Unair, pria kelahiran 12 Agustus 1963 itu lalu menjadi staf pengajar di almamaternya. Istrinya pun diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Penerangan.

Godaan rupanya datang menghampirinya. Meski sudah menjadi PNS, Daru rupanya tergiur untuk menjadi wartawan. Nyaris semua temannya juga mempertanyakan keputusannya untuk pindah profesi menjadi insan pers. Dosen adalah pekerjaaan bergengsi dan sudah pasti identik dengan kemapanan. Apalagi, dia mengajar di perguruan tinggi ternama. Ibaratnya, jaminan hari depan sudah terbayang di depan mata.

Namun, itu bukan satu-satunya hal yang membuatnya untuk tetap menekuni profesi sebagai guru. Awalnya memang ada teman yang mengajaknya untuk beraktivitas sebagai wartawan. Selain itu, dia melihat ada hal lain di dunia pers yang ikut mengusik nuraninya. Kritik atau masukan pada pemerintah bisa dilakukan hanya dalam hitungan beberapa hari melalui pemberitaan. Tentu beda dengan masukan dari lembaga atau instansi lain terhadap kebijakan pemerintah yang biasanya memerlukan waktu lama untuk bisa sampai pada pengambil keputusan.

Niat pun dia bulatkan. Status staf pengajar di FISIP Unair sekaligus sebagai PNS dia tanggalkan. Istrinya yang sedang menjalani prajabatan untuk menjadi PNS di Departemen Penerangan juga terpaksa melepas harapan itu. Mereka kemudian pindah ke Jakarta dan bergabung dengan media Berita Buana 1990.

Manajemen Berita Buana kemudian mengalami konflik dan armada baru koran itu pun diberhentikan. Saat muncul Harian Republika pada 1993, hampir semua mantan awak Berita Buana ikut bergabung, termasuk Daru. Di koran yang didirikan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) itu, Daru sempat menjadi redaktur pelaksana.
Kala manajemen Majalah Tempo hendak menerbitkan koran, Daru pun diajak bergabung pada tahun 2020. Di sinilah Daru akhirnya menduduki puncak karier sebagai pemimpin redaksi Koran Tempo hingga akhirnya pensiun.

Jauh sebelum pensiun, Daru sempat mengambil S2 di bidang komunikasi pada Universitas Indonesia. Ketika saya tanya, apakah hasrat bersekolah lagi itu ada hubungannya dengan niat untuk kembali mengajar? Dia hanya menukas pendek, “Ya, siapa tahu nanti ada yang menawari mengajar saat pensiun”.

Lagi-lagi, pilihan hidup Daru memang tidak selalu linier dan sulit ditebak. Menjelang pensiun, dia iseng-iseng membuka warung tenda di dekat rumahnya. Istrinya yang banyak berperan mengelola warung tenda ini. Ternyata warung tendanya banyak diminati konsumen. Mareka lalu memutuskan untuk menyewa ruko dan diberi nama Restoran Serbaiga D’Zara di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

Restoran ini makin berkembang. Beberapa artis secara kebetulan sempat mencicipi menunya dan merasa puas. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini, restonya sering dijadikan arena pengambilan gambar (shooting) sinetron. Di antara para insan pers dan teman-teman kuliah, Daru pun dikenal sebagai juragan kuliner.

Bagaimana dengan hasratnya mengajar? Jangan ditanya lagi. Penyuka musik dan fotografi itu tak lagi ingat untuk mengajar. Bersama istri, ia begitu asyik mempromosikan restorannya di pelbagai media sosial: Instagram, facebook, dan Whatsapp. Rekan-rekannya pun kian banyak yang mencoba menu di D’Zara.

Restoran yang mulai berkembang itu kini telah ditinggalkan sang juragan yang menjalani rehat panjang. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.

 

 

ARIF SUPRIYONO

Wartawan Senior, Mantan Kepala Redaksi Republika.co.id

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular