
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Dari ruang praktik yang tenang di Surabaya, langkah dr. Prita Kusumaningsih SpOG menembus batas negara menuju Gaza, Palestina, wilayah yang namanya lekat dengan perang dan penderitaan. Bagi dokter spesialis obstetri dan ginekologi ini, perjalanan itu bukan sekadar misi medis, melainkan panggilan kemanusiaan yang tak bisa ia abaikan.
“Rasanya seperti ada panggilan khusus, berbeda dengan wilayah lain,” tutur dr. Prita, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) angkatan 1983, Selasa (4/11/2025). “Di Gaza, ketidakadilan dan penjajahan nyata di depan mata. Kami sadar risikonya besar, tapi panggilan itu lebih kuat dari rasa takut.” imbuhnya.
Ikatan batin dr. Prita dengan Gaza bukan hal baru. Sejak 2009, ia telah bergabung dengan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), organisasi kemanusiaan yang kerap mengirim tenaga medis ke daerah-daerah konflik. Dalam setiap misi, ia tak hanya membawa peralatan medis, tapi juga harapan dan keteguhan hati.
Bagi dr. Prita, perjalanan ke Gaza adalah bentuk pengabdian tertinggi seorang dokter: menyembuhkan di tengah kehancuran. “Kami datang dengan perasaan waswas. Setiap hari ada bunyi bom dan drone. Tapi ketika melihat pasien tersenyum karena tertolong, semua rasa takut hilang,” ujarnya.
Salah satu pengalaman paling berkesan terjadi ketika ia harus menangani operasi caesar pada seorang ibu berusia 44 tahun yang melahirkan anak kesepuluhnya. Kondisi itu nyaris tak pernah dijumpai di Indonesia, apalagi di tengah situasi perang.
“Alhamdulillah, atas izin Allah, operasi berjalan lancar,” kenangnya. “Saya menjumpai perlekatan yang sangat minimal dan dinding rahim yang masih tebal, padahal di Indonesia operasi ketiga saja sudah berisiko tinggi.”
Keesokan harinya, sang ibu dan suaminya mendatangi dr. Prita. Mereka meminta dokter asal Surabaya itu memberi nama untuk bayi mungil yang baru lahir. “Saya terharu. Di tengah dentuman bom, ada kehidupan baru yang lahir. Itu seperti pesan dari langit bahwa harapan belum mati,” ucapnya lirih.
Keteguhan dr. Prita bertahan di Gaza ia sandarkan pada kedekatan spiritual yang dalam. Di tengah keterbatasan obat, listrik, dan ancaman kematian, hanya keimanan yang menjadi penopang.
“Kedekatan dengan Allah SWT adalah yang paling menenangkan,” ujarnya. “Kami melihat para tenaga medis di Gaza begitu tabah. Mereka tidak pernah mengeluh, hanya bersyukur.”
Bagi dr. Prita, profesi dokter di Gaza mengajarkan makna baru tentang kemanusiaan. “Menjadi dokter bukan hanya soal menyelamatkan nyawa, tapi menjaga nurani agar tetap hidup di tengah reruntuhan,” katanya.
Dapat Apresiasi di Dalam Negeri
Atas dedikasinya, dr. Prita menerima “Anugerah Perempuan Hebat” dari Liputan6. Penghargaan itu menjadi pengakuan atas kiprah seorang perempuan Indonesia yang membawa nama bangsanya di garis depan kemanusiaan dunia.

“Saya berterima kasih atas kehormatan ini,” ujarnya. “Namun sesungguhnya, apa yang saya lakukan bisa juga dilakukan orang lain. Penghargaan ini justru melecut semangat saya untuk terus berbuat lebih banyak bagi Gaza.”
Kini, setiap kali kembali ke Surabaya, dr. Prita membawa cerita dari tanah yang luka namun tak menyerah. Tentang ibu-ibu yang melahirkan di tengah runtuhan bangunan. Tentang anak-anak yang tertawa di bawah langit berasap. Dan tentang harapan yang, entah bagaimana, tetap tumbuh di antara reruntuhan.
“Gaza mengajarkan satu hal,” ujarnya pelan. “Bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas negara, ia hanya mengenal keberanian untuk peduli.” pungkasnya.(*)
Kontributor: PKIP
Editor: Abdel Rafi



