Rokok tanpa merek, alias “rokok polos,” kedengarannya seperti ide jenius untuk mengurangi konsumsi rokok, bukan? Sudah lama ide ini muncul, dan kini mendapatkan momentumnya untuk dibuatkan peraturannya oleh Kementerian Kesehatan. Anda pasti setuju dan berteriak, “Yuk kita dukung bersama.”
Tapi tunggu dulu, sebelum Anda merayakan kemenangan atas industri tembakau yang akhirnya mungkin terpojok, ada beberapa pihak yang sepertinya tak begitu antusias. Ya, para pengusaha rokok dan anggota DPR pendukung industri ini, yang mengeluarkan suara paling keras sejak rencana ini pertama kali dihembuskan.
Mereka tampak seperti aktor yang kebingungan di atas panggung —bagaimana bisa sebuah produk dijual tanpa label? “Bagaimana kami membedakan satu rokok dari rokok lainnya? Apa yang terjadi dengan seni desain kemasan yang kami banggakan?”
Di sisi lain, data tidak pernah berbohong. Indonesia kini menjadi juara dunia dalam hal prevalensi perokok pria, dengan sekitar 70,5% pria dewasa di negeri ini tak bisa lepas dari kepulan asap nikotin. Bahkan jumlahnya terus bertambah, mencapai 69,1 juta orang pada 2021.
Dengan kata lain, lebih banyak orang di Indonesia menghisap rokok dibandingkan yang menikmati kopi di kedai. Bayangkan saja, ada 8,8 juta perokok baru dalam satu dekade terakhir. Siapa bilang rokok kalah populer dari gadget atau gawai?
Tetapi tunggu, menurut para pengusaha rokok, ada hal yang lebih mengerikan daripada bahaya kesehatan: rokok tanpa merek. Katanya, kebijakan ini seperti memasukkan mereka ke ruang gelap tanpa lentera.
Bagaimana mereka bisa “menjual gaya hidup” jika tak ada merek ikonik yang tersemat di bungkus rokok? Tanpa logo, warna cerah, atau font keren, apa yang tersisa dari rokok selain risiko kanker?
Dan lebih penting lagi, siapa yang akan membeli rokok polos tanpa mengetahui asal-usulnya?
Firman Soebagyo dari DPR RI bahkan menganggap kebijakan ini diskriminatif! Ya, katanya, kebijakan ini bisa mengancam kelangsungan hidup pedagang kecil, petani tembakau, dan tentunya industri ritel.
Seketika, rokok polos menjadi momok yang menakutkan bagi jutaan orang yang bergantung pada tembakau untuk bertahan hidup. Bahkan, industri ini dianggap sebagai pahlawan bagi negara karena kontribusi cukainya yang begitu besar.
Namun, apakah masalah rokok polos ini sungguh soal melindungi ekonomi, atau hanya melindungi citra glamor di balik asapnya?
Di Australia, misalnya, rokok polos telah diterapkan sejak 2012, dan meskipun debatnya masih berlanjut, beberapa profesor berargumen bahwa kebijakan ini mampu menurunkan prevalensi perokok pemula.
Tapi, apa kata mereka yang skeptis? “Indonesia berbeda,” ujar para kritikus kebijakan rokok polos di sini. Mereka menekankan, “Kami punya petani tembakau, pabrik, pedagang asongan, dan jutaan pekerja lainnya yang tak bisa dipukul rata dengan Australia.”
Faktanya, ada enam juta lebih pekerja yang hidup dari industri tembakau di Indonesia. Bayangkan kerugian ekonomi jika semua orang berhenti merokok hanya karena bungkus rokoknya tidak menarik.
Bahkan, menurut ekonom INDEF, Tauhid Ahmad, kebijakan ini bisa membuat penerimaan negara anjlok. Minus 0,53% untuk pertumbuhan ekonomi, katanya. Angka-angka ini membuat kebijakan rokok polos terlihat lebih berbahaya daripada kabut asap rokok itu sendiri.
Ironisnya, saat pemerintah Australia memperkenalkan kebijakan rokok polos pada 2011, mereka sedang mengeluarkan 31,5 miliar dolar setiap tahun untuk biaya kesehatan akibat rokok.
Indonesia, di sisi lain, mungkin belum sampai ke titik itu, tapi dengan prevalensi perokok yang terus naik, apakah kita hanya menunggu giliran? Kita harus mendukung kebijakan rokok polos. Kita mesti bela ini.
Jadi, saat suatu hari nanti kita bangun dan menemukan rokok tanpa merek berjejer di etalase toko, biarlah para ahli hisap rokok mulai bertanya: apakah kita membeli rokok atau sekadar kepulan asap tanpa identitas?
Atau setidaknya, kita akan bersyukur karena satu langkah kecil menuju Indonesia yang lebih sehat akhirnya dimulai.
Tapi bagi mereka yang bergantung pada industri ini, apakah “rokok polos” lebih mirip dengan gulungan nikotin tanpa masa depan? Itu terserah mereka. Biarlah itu jadi urusan mereka.
22 September 2024
AHMADIE THAHA (CAK AT)
Bekas wartawan Tempo dan Pendiri Republika Online