Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas yang sesungguhnya masuk program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini belum terlihat serius digarap. Selama ini RUU Migas ini menjadi RUU inisiatif DPR dan sudah mengeluarkan drafnya sebanyak 2 kali. Namun hingga kini masih belum terlihat akan dibahas oleh DPR bersama Pemerintah. Meski tidak kasat mata, tarik-menarik kepentingan sepertinya sangat besar pengaruhnya hingga membuat RUU ini seakan jalan di tempat namun aroma perburuan kepentingan begitu kental tercium.
Pergantian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dari Sudirman Said ke Archandra Tahar mencuatkan kembali RUU Migas ini ke permukaan. Pasalnya, berawal dari pernyataan pak Menteri yang akan memprioritaskan penyelesaian RUU Migas. Isu ini semakin menjadi kontroversi ketika pak Menteri menyatakan sedang mengkaji cadangan minyak sebagai aset perusahaan agar bisa dijadikan jaminan mencari pinjaman, sehingga kegiatan eksplorasi bisa bertumbuh untuk menemukan cadangan minyak baru. Gagasan yang bagus tapi penuh resiko dimana resikonya tidak sebanding dengan manfaatnya karena sesungguhnya ada jalan lain yang minim resiko tapi tetap bisa menumbuhkan eksplorasi baru.
Gagasan tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 sebagai konstitusi kita, mengingat minyak adalah cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, minyak harus dikuasai negara. Cadangan minyak tidak boleh diserahkan kepada swasta menjadi aset perusahaan, itu keliru dan sangat bertentangan dengan konstitusi. Cadangan harus tetap dikuasai oleh negara dan tidak boleh dipindah tangankan ke swasta apapun alasannya.
Jika alasannya adalah supaya perusahaan eksplorasi lebih giat mencari sumber minyak baru, kami kira solusinya bukan dengan menyerahkan kekayaan negara kepada swasta. Itu sangat berbahaya dan mengancam kedaulatan bangsa atas sumber daya alamnya. Pemerintah harusnya berpikir resiko yang terjadi bila tiba-tiba swasta yang menguasai cadangan tersebut dan sudah menjadikan cadangan tersebut sebagai jaminan pinjaman ternyata bangkrut. Maka pemberi pinjaman akan menyita aset yang dijaminkan. Ini bahaya, negara akan dirugikan sangat besar. Belum lagi resiko lain yang rentan terjadi misalnya kehilangan aset karena sengketa perusahaan swasta dengan pihak lain hingga perusahaan yang diserahi aset tersebut pailit. Maka aset tentu akan berpindah tangan dan semakin jauh dari kepemilikan negara.
Bagaimana seharusnya Pemerintah bersikap? Disinilah dibutuhkan spirit nasionalisme dan keberpihakan pada perusahaan milik negara. Kami sendiri mengusulkan agar RUU Migas mencantumkan dengan tegas bahwa “cadangan minyak dan gas dikuasai dan dimiliki oleh negara yang dikelola oleh Pertamina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah”. Maka dalam hal ini, Pertamina harus jadi Holding Company di sektor minyak dan gas. Dengan demikian Pertamina adalah satu-satunya badan usaha yang berhak menjadikan cadangan sebagai jaminan pinjaman dan Pertamina ditugasi untuk melakukan eksplorasi mencari ladang minyak dan gas baru. Ini akan menjadikan Pertamina sebagai perusahaan negara menjadi sangat besar menuju kedaulatan dan kemandirian sektor energi minyak dan gas. Pertamina harus didukung sebagai satu-satunya badan usaha yang menjadi holding company minyak dan gas, sehingga lavaragenya besar dan tentu akan mudah mencari sumber dana untuk membiayai kegiatan eksplorasi. Pertamina yang harus diserahi tanggung jawab itu, bukan perusahaan swasta apalagi swasta asing.
RUU Migas saya kira jangan sampai aneh-aneh. Jangan serahkan kedaulatan energi ke pihak asing dan swasta. Jangan serahkan hajat hidup orang banyak kepada swasta katena sangat berbahaya. Itu jelas menabrak konstitusi dan menabrak kedaulatan serta kemandirian. Keberpihakan pada bangsa dan negara sangat penting menuju bangsa yang berdaulat dan mandiri, disinilah letaknya yang akan menunjukkan ke dunia bahwa Indonesia punya kedaulatan dan kemandirian terhadap minyak dan gas yang dikelola oleh Pertamina.
FERDINAND HUTAHAEAN
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI)