Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanBunker Besi Wishnutama

Bunker Besi Wishnutama

 

“Masuk lobinya saja besi semua, Gedung Sapta Pesona itu. Saya bilang ini pariwisata atau kaya diskotik?” (Wishnutama Kusubandrio, KontanDotCo, 8 November 2019).

Wishnutama Kusubandrio, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Republik Indonesia (RI), termasuk tokoh kejutan dalam Kabinet Jokowi–Ma’ruf Amin. Muda, tampan, pun ikon di bidang industri penyiaran dan inovator dalam panggung raksasa. Pria yang berusia 50 tahun pada Mei nanti, bakal menjadi pertaruhan kalangan profesional yang neko-neko masuk politik. Menteri adalah jabatan politik.

Tama, panggilan Wishnutama, bukan hanya bertaruh bagi dirinya sendiri. Tama adalah kepala dari rangkaian gerbong Generasi X. Ia bisa disebut sebagai chief bagi kaum profesional lain yang masuk kabinet atau beredar di lingkaran dalam istana negara. Termasuk bagi profesional lain yang berusia lebih muda. Dua dekade terakhir, sejumlah nama kaum profesional moncer dalam jabatan politik dan pemerintahan. Tapi dalam keping koin yang sama, beberapa nama tergelincir dan malah hingga kini hidup di balik dinding penjara.

Kesan awal Tama berada di pemerintahan tak begitu cerah. Malah kelabu. Tama membandingkan Gedung Sapta Pesona dengan kantor Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kantor Basuki yang terletak di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini terbilang asri, sejuk dan tentram. Jakarta Selatan memang identik dengan kenyamanan dan ketenangan.

Jakarta Pusat? Episentrum panggung-panggung perebutan ruang publik yang bising. Bunderan di depan Gedung Sapta Pesona sering jadi titik kumpul para demonstran. Lokasi fotografi yang rancak, baik dengan latar Monas, kuda-kuda Arjuna Wijaya, air mancur, ditambah dengan patung Muhammad Husni Thamrin. Dalam masa Orde Baru dan transisi sesudahnya, Gedung Sapta Pesona terletak di dekat satu dari lima pusat otoritas keuangan negara: Bank Indonesia. Tentu di luar Cilangkap (militer), Trunojoyo (polisi), Senayan (parlemen) dan Istana Kepresidenan.

Keterbukaan dan kemerdekaan berpendapat dalam era demokrasi, semakin identik dengan aksi-aksi demonstrasi. Aksi yang datang dari pelbagai elemen warga. Eh, jangan-jangan salah satu “tugas samping” Tama adalah memberi masukan bagi bentuk-bentuk aksi yang kreatif itu. Bukankah Presiden Jokowi dikenal sebagai pribadi yang out of the box? Mana tahu, pendapat yang menyebut betapa aksi identik dengan anarki dan vandalisme bisa digusur. Bukankah ada yang berpendapat, betapa aksi-aksi demonstrasi di Indonesia bisa jadi bagian dari iletenary wisatawan manca negara?

Sudah empat bulan celetukan Tama itu keluar.

Saya tidak pernah benar-benar menolehkan kepala ke arah kantor Parekraf. Apalagi masuk ke dalamnya. Apakah suasana diskotik itu masih terasa, tentu Tama bisa menjawab. Atau, sudah terdapat perubahan dalam disain interior dan tata kelola di dalam area itu? Yang jelas, Kantor Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) di Jalan Gatot Subroto sudah berubah dibanding lima tahun lalu. Terasa lebih rapi, dipenuhi dengan loket-loket informasi. Hanya saja, tetap perlu bertanya letak ruangan badan atau lembaga yang melayani publik di lantai selain lobby utama.

Selama empat tahun menjadi anggota Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance) Reformasi Birokrasi Nasional (RBN) RI, yakni 2015-2019, saya bersama Tim Subtansi yang berasal dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI tiap tahun melakukan kunjungan lapangan. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), misalnya, adalah tugas tahun pertama. Berikutnya terkait kemudahan dalam proses perizinan dan investasi. Tim melakukan wawancara dan dialog dengan sejumlah gubernur.

Jelang akhir tugas Tim QA melakukan penguatan terhadap delapan area perubahan yang terkait dengan 10 destinasi pariwisata baru di luar Bali. Bangka Belitung dan Labuan Bajo adalah area yang kami jelajahi guna mendapatkan data. Para pemangku kepentingan di daerah kami ajak diskusi, termasuk para bupati atau walikota. Kami juga mendalami masalah-masalah yang ditemui di lapangan, terutama keluhan dari pihak investor yang hendak menanamkan modalnya di bidang perhotelan, sarana angkutan, hingga kluster-kluster wisata lainnya.

Sayangnya, walau kenal baik dengan Arief Yahya, Menteri Pariwisata periode 2014-2019, sama sekali Tim QA belum sempat melakukan diskusi mendalam dengan jajaran kementerian. Padahal, salah satu temuan lapangan yang didapat adalah kesulitan supervisi dari pihak kementerian kepada stakeholders daerah. Kementerian Pariwisata tidak memiliki instansi vertikal di daerah. Kepala-kepala daerah bebas-bebas saja membentuk, menghilangkan atau menggabungkan Dinas Pariwisata.

Di banyak daerah, Dinas Pariwisata, baik sendiri atau digabungkan dengan bidang lain, bukanlah pilihan atau jalur favorit pejabat daerah. Kepala-kepala dinas banyak yang tak punya latar belakang di bidang pariwisata. Yang lebih celaka, kekosongan pejabat di Dinas Pariwisata bisa terjadi dalam waktu lama. Belum lagi anggapan bahwa mereka yang menjabat adalah “orang buangan”. Cukup? Belum. Pejabat yang mengisi bukan berasal dari daerah tempatan, melainkan pindahan atau sekadar mampir sebelum mendapatkan posisi yang diincar.

Posisi Kementerian Pariwisata benar-benar menggantung di pusat. Tak ajaib, apabila ada daerah yang dengan lantang berkata bahwa peserta kegiatan yang salah-satunya diprakarsai Kementerian Pariwisata sama-sekali tak berkaitan dengan mereka. Kehadiran Putri Indonesia 2020 asal Sumatera Barat yang “tak diakui” Pemerintahan Provinsi, misalnya, bukan pertama kali terjadi.

Nah, di satu sisi dinas-dinas pariwisata merasa tak disentuh oleh Kementerian Pariwisata. Lalu, di sisi lain, Kementerian Pariwisata merasa sama sekali tak dianggap oleh dinas-dinas pariwisata daerah. Desentralisasi atau otonomi di bidang kewisataan masih mengandung masalah. Dan itu tak sebanding dengan peningkatan jumlah lembaga pendidikan atau pelatihan di bidang wisata. Teori dan praktek manajemen pemerintahan yang menangani masalah wisata plus turunannya masih belum nyambung.

Satu bidang tugas saja sudah mengandung segudang masalah. Apatah lagi penambahan nomenklatur baru di tingkat kementerian, yakni ekonomi kreatif? Belum lagi peran ganda Tama. Selain diangkat sebagai menteri, Tama sekaligus menjadi Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Baik, batasi saja dulu di bidang wisata. Agar tak melebar kemana-mana. Biar Tama juga tak berkerut keningnya. Kehadiran Tama disambut optimisme tinggi. Arief Yahya sudah meletakkan dasar kuat di bidang wisata. Para diplomat ikut-ikutan menjadi salesmen di kawasan yang ditugaskan kepala negara. Tantowi Yahya dan Yuddy Chrisnandi, dua orang yang saya kenal dekat, adalah contoh figur majesty yang gencar memasarkan tujuan-tujuan wisata Indonesia kepada warga negara asing.

Empat bulan bekerja, Tama belum terlihat mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Jejak dan jumlah berita dari Gedung Sapta Pesona masih terbatas. Waktu seakan enggan berpihak. Belum usai sejumlah bencana melanda, seperti banjir, planet kecil ini diserbu virus novel Corona. Industri wisata terkena pukulan di ulu hati. Pingsan. Devisa terus menurun. Langkah perumahan karyawan, bahkan aba-aba pemutusan hubungan kerja, seakan datang esok hari. Belum terdapat tanggal pasti, kapan kalender wisata dimulai, seperti sedia kala. Isolasi korban virus sudah sampai ke atas kapal-kapal pesiar, pesawat-pesawat udara, hotel-hotel berbintang, sampai perigi-perigi lembah-lembah pendakian.

Saya tak punya banyak informasi. Kecepatan smartphone menjadi andalan. Saya buka website KemenParekraf, baik yang berbahasa Indonesia atau Inggris. Sedikit sekali info terbaru. Yang berserakan, bagai klipingan-klipingan koran yang sudah menguning, adalah informasi lama. Bukan hanya dalam masa Arief Yahya, pun menteri-menteri sebelumnya. Kalender-kalender lama, sedikit yang baru. Dengan teori-teori dasar tentang semiotika, apakah berbentuk teks, grafik, foto, lambang, atau tanda baca, sama sekali tak teraba denyut perubahan atau minimal kehendak perubahan. Sebagai wajah dan wadah paling depan negara di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif, website KemenParekraf bagai bemo yang berjalan bersama moda terbaru seperti busway, monorel, atau MRT.

Hanya saja, satu dokumen membantu saya memahami apa yang terjadi. Dokumen setebal 63 halaman itu berisi Struktur Organisasi Kementerian/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tentu bukan berisi 63 nama, atau 63 jabatan. Tak sempat saya menghitung, saking banyaknya. Satu halaman saja berisi puluhan nama, berikut jabatan. The devil is in the details, begitu nubuat para empu. Makin rinci penjelasan yang dibuat, makin sehatlah organisasi yang dijalankan. Masalahnya, kalau detil itu dimasukkan ke dalam dokumen, bisa jadi dokumen ini berbentuk buku khusus berisi 300 halaman.

Saya menjadi paham apa yang disebut Tama dalam kutipan kalimat, “Masuk lobinya saja, besi semua. Ini pariwisata atau diskotik?” Pantas Tama seakan masih bertapa. Struktur organisasi yang ia masuki bagai labirin yang terbuat dari besi. Bukan merdeka dalam kreasi yang terbangun, namun kerangkeng atau kandang dari besi yang besar, luas, pun terkotak-kotak dalam kamar dan lantai yang bernama birokrasi. Berkeliling dari satu meja rapat ke meja rapat berikutnya sudah butuh waktu berjam-jam dan berhari-hari, mana lagi energi untuk yang lain? Walau Tama pernah menempuh pendidikan kemiliteran di Amerika Serikat, keterbatasan yang identik dengan manusia bakal memadamkan nyala Tama. Tak sempat berpijar, tapi sudah pasti pudar.

Sungguh, saya berdoa dan berharap sayalah yang keliru. Atau, saya terlalu imajinatif membayangkan Tama bagai kijang gunung atau macan hitam yang sedang terjerat kakinya. Jejak profesional Tama menunjukkan diri sebagai konduktor yang mampu membawakan harmoni, baik dalam pekerjaan kantoran ataupun panggung memorabilia. Jenjang pendidikan Tama adalah gabungan liberasi dengan dinamika dan kedisiplinan.

Di luar virus Corona, bangsa ini sedang berjibaku dengan omnibus bill (bukan omnibus law, karena baru rancangan). Jangan-jangan, kesalahan kolektif terjadi dalam sudut pandang omnibus bill ini. Bukan undang-undang yang menjadi kertas kutukan yang memicu sejumlah persoalan, melainkan peraturan yang berada di bawahnya. Dalam kasus Tama, antara lain berupa Peraturan Presiden No 69/2019 tentang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Masih ada ketentuan hukum yang lebih tinggi dari Peraturan Presiden, yakni Peraturan Pemerintah.

Dan jangan-jangan, bukan hanya Tama yang menghadapi rapat demi rapat marathon di Gedung Sapta Pesona. Bisa jadi, ada Tama-Tama yang lain. Terdapat jerat kaki dan beban besi dalam kerangkeng Badan, Kementerian, serta Lembaga masing-masing…

Jakarta, 13 Maret 2020

 

INDRA J. PILIANG

Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara

RELATED ARTICLES

Most Popular