Saturday, April 20, 2024
HomeEkonomikaAtasi Krisis Energi, Pakar: Indonesia Bisa Tingkatkan Produksi Sawit Dengan Metode SFA...

Atasi Krisis Energi, Pakar: Indonesia Bisa Tingkatkan Produksi Sawit Dengan Metode SFA dan DEA

ilustrasi. (foto; asian agri)

SURABAYA – Tingginya harga minyak mentah dan gas di pasar internasional dinilai menghambat laju pemulihan ekonomi secara global terutama pasca pandemi Covid-19. Artinya, menurunnya perekonomian global disebabkan krisis energi. Salah satunya ditandai dengan kenaikan harga minyak mentah dunia dan minimalnya jumlah ekspor Indonesia.

“Krisis energi membuka peluang industri minyak kelapa sawit untuk menembus pasar minyak dunia. Minyak kelapa sawit merupakan bahan dasar pembuatan biodiesel dan merupakan energi yang ramah lingkungan,” ujar Prof. Dra. Ec. Dyah Wulansari, M.Ec., Dev., Ph.D., dalam orasi ilmiah pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR C Unair, pada Rabu (28/12/2022).

Membaca kebutuhan pasar yang besar terhadap minyak kelapa sawit, memberikan peluang dan tantangan kepada Indonesia untuk terus meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan pasar internasional. Meski  menduduki jumlah ekspor tertinggi sebesar 60,85%, tren harga minyak kelapa sawit Indonesia masih rendah dibandingkan dengan Malaysia. Sehingga diperkirakan permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia akan meningkat dengan tantangan pembukaan areal hutan.

“Jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan lahan kritis baru. Akibat perluasan lahan perkebunan sawit ini, bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis,” tegas Prof. Dyah.

Prof. Dyah memaparkan bahwa untuk meningkatkan produksi minyak tanpa mengancam kekayaan alam Indonesia, upaya efisiensi dapat dimulai dengan perhitungan penggunaan lahan menggunakan metode Stochastic Frontier Analysis (SFA). Selain itu, efisiensi produksi dan efisiensi skala juga dapat diukur menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA).

“Rata-rata skor efisiensi penggunaan lahan di setiap provinsi di Indonesia relatif sama. Jumlah usaha yang dapat perkebunan yang dapat memanfaatkan lahannya secara optimal baru 0,31 persen dan sisanya 99,69 persen belum dikelola,” tukasnya dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair itu.

Prof. Dyah melanjutkan bahwa hasil perhitungan metode DEA menunjukkan bahwa perusahaan minyak kelapa sawit dari hasil tandan buah segar, CPO (Minyak Sawit Mentah) senilai 4,8%, dan PKO (Minyak Inti Sawit, red.) 26,83% dinilai belum optimal. Produksi Indonesia sendiri dalam kurun waktu produktif hanya mampu memproduksi 9-15 ton TBS/hektar.

“Upaya yang bisa kita lakukan untuk meningkatan produksi minyak kelapa sawit dapat dilakukan dengan mengunakan faktor input yang lebih efisien, mengoptimalisasikan skala produksi melalui peningkatan keterampilan dan kualitas pekerja serta dukungan kemajuan teknologi melalui pengembangan R&D,” tandasnya mengakhiri.

(bus/pkip/bti)

RELATED ARTICLES

22 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular