Wednesday, April 24, 2024
HomeSains TeknologiKesehatanAngka Stunting Surabaya Tembus 1.100 Anak, Guru Besar Unair: Persentasenya Kecil Tapi...

Angka Stunting Surabaya Tembus 1.100 Anak, Guru Besar Unair: Persentasenya Kecil Tapi Jangan Abai!

Prof. Dr. Sri Sumarmi, S.KM., M.Si dalam suatu kesempatan memberikan edukasi seputar stunting beberapa waktu lalu. (foto: istimewa)

SURABAYA – Pemerintah tengah serius menangani problem tingginya angka stunting di Indonesia. Yang mengejutkan Surabaya sebagai kota metropolis angka stuntingnya bisa dikatakan lumayan yakni mencapai 1.100 anak. Angka tersebut berdasarkan pada data yang tercatat di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya per September 2022. Kepala DP3APPKB Kota Surabaya Tomi Ardiyanto mengatakan bahwa pihaknya telah membentuk 6.645 TPK (tim pendamping keluarga) yang merupakan kombinasi tenaga kesehatan, ibu-ibu PKK dan unsur kader KB dimana pada Senin (24/10/2022) para TPK ini diberikan pelatihan guna mempercepat penurunan angka stunting di Surabaya.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof. Dr. Sri Sumarmi, S.KM., M.Si mengatakan bahwa sebenarnya angka 1.100 anak  apabila dibandingkan jumlah anak balita di Surabaya maka persentasenya menjadi kecil. Hal tersebut mengingat standar WHO terkait stunting atau hambatan pertumbuhan ini menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih.

“Jadi 1.100 anak itu kalau dilihat dari prevalensi kurang dari 20%, sehingga bisa dikategorikan prevelensi stunting di Surabaya rendah. Namun kita memang tidak boleh mengabaikan, karena angka 1.100 itu jumlah yang besar. Untuk di daerah yang padat penduduknya seperti Surabaya ini, kita tidak boleh hanya melihat dari %nya saja. Meskipun persentasenya rendah, namun dari jumlah menjadi besar,” ujar Prof Mamik -sapaan akrabnya- kepada cakrawarta.com, Rabu (26/10/2022).

Menurut Prof Mamik, ada 12 provinsi di Indonesia yang menjadi prioritas nasional dalam upaya percepatan penurunan stunting, termasuk di Jawa Timur. 12 provinsi ini adalah provinsi yang memilik persentase atau prevalensi stunting tinggi dan atau memiliki jumlah anak stunting yang besar.

“Jawa Timur, khususnya Surabaya dari hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) termasuk daerah dengan prevalensi moderat, namun jumlah anak stuntingnya banyak,” paparnya.

Prof Mamik menilai kota besar seperti Surabaya memiliki masalah yang kompleks dimana banyak penduduk pendatang yang bisa menyumbang masalah, termasuk masalah stunting.

“Mungkin sebagian dari anak ini berasal dari masyarakat pendatang, dari sosial ekonomi rendah, mereka tinggal di kampung yang kurang layak kondisi sanitasi lingkungan serta ketersediaan air bersihnya. Ini penting menjadi perhatian kita semua,” imbuhnya.

Prof Mamik menilai bahwa akar masalah dari stunting maupun malnutrisi lainnya adalah kondisi sosial ekonomi yang rendah.

“Tapi komitmen Walikota Surabaya menurut saya sangat bagus. Pak Ery Cahyadi sangat concern untuk mengatasi masalah stunting di kota Surabaya,” tegasnya.

Selain persoalan sosial ekonomi yang rendah, ada hal yang menurut Prof Mamik harus digarisbawahi yaitu faktor penyebab masalah stunting itu adalah kekurangan asupan zat gizi yang dapat menunjang pertumbuhan.

“Jangan salah ya, bukan kurang makan. Orang tuanya tetap menyediakan makanan, namun makanan yang kurang berkualitas. Karena rendah kandungan proteinnya, terutama asupan protein hewani masih kurang, kekurangan vitamin mineral yang dapat meningkatkan imunitas sehingga sering sakit. Diare dan batuk pilek yang berulang-ulang adalah penyebab utama yang kedua,” tandas guru besar yang saat dikukuhkan memberikan orasi ilmiah mengenai Cegah Stunting Sejak Catin yaitu pencegahan stunting sejak masa pra konsepsi pada Sabtu (14/12/2019) lalu itu.

Karena itu, menurut Prof Mamik diperlukan langkah preventif guna mencegah agar jangan lahir anak stunting baru dengan cara mencegah jangan sampai ada bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir kecil berat lahir kurang dari 2,5 kg dan atau bayi stunting sejak lahir yaitu bayi yang lahir dengan panjang kurang dari 48 cm.

“Oleh karena itu intervensi diberikan sejak sebelum hamil dan sepanjang masa kehamilan. Sasarannya adalah calon pengantin, calon ibu dan ibu hamil. Calon penganin wanita diberikan intervensi gizi serta edukasi. Begitu pula ibu hamil. Calon ibu maupun ibu hamil yang kurus, yang menderita anemia atau kurang darah, dari golongan sosial ekonomi rendah perlu mendapat prioritas intervensi. Yang tidak kalah penting dalam mengatasi masalah stunting adalah perbaikan sanitasi lingkungan rumah dan supply air bersih,” pungkas Prof Mamik.

(bus/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular