Saturday, May 3, 2025
spot_img
HomeGagasanAkademia vs Militerisme: Siapa Mengawali Demokrasi?

Akademia vs Militerisme: Siapa Mengawali Demokrasi?

Belakangan, kehadiran militer di lingkungan kampus semakin sering terjadi dan menimbulkan kekhawatiran. Contohnya, Universitas Udayana menandatangani nota kesepahaman dengan TNI AD untuk sinergi di bidang pendidikan, yang langsung ditolak oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) karena dianggap mengancam independensi akademik. Di tempat lain, seperti UIN Walisongo Semarang, diskusi mahasiswa terganggu oleh kehadiran personel TNI yang membuat peserta merasa terintimidasi. Di Universitas Indonesia, Dandim 0508/Depok memasuki area konsolidasi BEM tanpa undangan resmi, dan di Universitas Airlangga, video yang memperlihatkan personel TNI masuk kampus tanpa keterangan jelas juga viral di media sosial.

Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan bahwa militer mulai masuk ke ranah akademik, baik melalui kerja sama resmi maupun aksi tak terduga, yang memicu kekhawatiran besar di kalangan civitas akademika. Ingatan masa Orde Baru masih segar, ketika militer mengontrol kampus secara tidak langsung melalui program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Pada masa itu, pejabat kampus banyak yang dipilih agar sejalan dengan pemerintah dan militer, sementara intelijen militer mengawasi diskusi dan pergerakan mahasiswa. Akibatnya, suasana kampus menjadi penuh ketakutan dan kontrol sosial yang ketat.

Pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto yang menyatakan bahwa kampus adalah ruang terbuka bagi siapa saja, termasuk TNI, justru menimbulkan kebingungan. Pernyataan ini mengabaikan fakta bahwa mahasiswa adalah aktor penting dalam politik nasional dan kampus adalah benteng terakhir kritik ketika parlemen bungkam. Sejarah membuktikan bahwa NKK-BKK berhasil mematikan gerakan mahasiswa, membatasi kritik politik, dan meredam kebebasan pers serta diskusi kritis di kampus. Normalisasi keterlibatan militer di kampus tanpa refleksi sejarah berpotensi mengulang pola otoriter masa lalu.

Militer dan Fungsi Teritorial di Kampus

Dalam beberapa kasus, militer hadir di kampus dengan alasan pembinaan teritorial melalui Babinsa (Bintara Pembina Desa). Namun, kehadiran Babinsa di kampus terasa kurang relevan karena tidak ada substansi akademik yang berkaitan dengan tugas militer di lingkungan perguruan tinggi. Kehadiran perwira tinggi seperti Dandim juga tidak memiliki urgensi kecuali diundang secara resmi untuk acara tertentu.

Jika militer hadir dalam diskusi atau seminar, perlu diingat bahwa tradisi militer menekankan ketaatan dan kepatuhan pada perintah, bukan kebebasan berpikir dan demokrasi. Pakar militer Made Supriatma dari ISEAS Singapura mengingatkan bahwa kehadiran tentara membawa efek psikologis intimidasi karena mereka membawa senjata. Kekhawatiran ini menjadi serius jika kampus dikendalikan dengan kekuatan fisik daripada kekuatan intelektual. Normalisasi kehadiran militer di kampus berisiko mengancam kebebasan berpikir, berekspresi, dan pengembangan akademik.

Fungsi keamanan dan ketertiban di kampus sebenarnya lebih tepat ditangani oleh Kepolisian melalui Bhabinkamtibmas, yang bertugas melakukan patroli dan koordinasi untuk menjaga keamanan. Militer seharusnya fokus pada pertahanan negara dan deteksi ancaman fisik seperti terorisme dan premanisme. Namun, maraknya kasus seperti sabung ayam yang melibatkan oknum militer perlu menjadi perhatian dan evaluasi internal.

Mengembalikan Kedaulatan Akademik dan Peran Mahasiswa

Dalam situasi politik saat ini, mahasiswa menjadi pengawal utama demokrasi, terutama ketika lembaga legislatif kurang menjalankan fungsi kontrolnya. DPR RI sering dianggap lalai dalam menyerap aspirasi publik dan mengesahkan kebijakan kontroversial seperti Omnibus Law Cipta Kerja tanpa partisipasi masyarakat yang memadai. Revisi RUU TNI dan RUU POLRI juga perlu diawasi ketat. Ketika wakil rakyat tidak bersuara lantang, mahasiswa harus turun tangan sebagai suara kritis masyarakat.

Kampus harus tetap menjadi ruang publik akademik yang terbuka untuk kritik tanpa intervensi militer. Diskusi mahasiswa harus tetap dilindungi dan dijamin keamanannya agar kebebasan berpikir dan berekspresi tetap terjaga. Jika ruang akademik disempitkan, peran mahasiswa sebagai pengawal demokrasi akan tergerus. Memberikan kuliah umum pun, tentara harus memperbarui doktrin dan kurikulumnya termasuk mengubah definisi ancaman dari tradisional menuju non-tradisional tidak hanya sebatas menebar ketakutan pada isu-isu bangkitnya kembali komunisme atau “cerita-cerita klasik” yang bertentangan dengan lahirnya teknologi drone, AI, dan faktor lain yang membuat Indonesia tetap dalam kewaspadaan.

Di banyak negara maju, kampus justru menjadi benteng kebebasan berpendapat dan berpikir kritis. Amerika Serikat melindungi perguruan tinggi dari intervensi politik dan militer melalui prinsip academic freedom. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Finlandia mendorong universitas sebagai pusat kritik sosial dan inovasi kebijakan. Inggris dengan universitas seperti Oxford dan Cambridge mempertahankan ruang akademik sebagai tempat dialog bebas tanpa intimidasi. Kebebasan akademik adalah fondasi kemajuan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi, dan kematangan demokrasi.

Militer Harus Ditempatkan Sesuai Porsinya

Ironisnya, visi Indonesia sebagai negara maju pada 2045 tampak terancam oleh kehadiran militer yang semakin menguat di kampus. Alih-alih memperluas ruang kebebasan berpendapat, negara justru kembali menggunakan pendekatan pengawasan dan pembungkaman melalui militer. Jika ruang akademik dikekang, cita-cita kemajuan akan menjadi ilusi tanpa jiwa.

Militerisasi kampus harus ditolak demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Perguruan tinggi yang merdeka dari intervensi militer adalah syarat mutlak lahirnya generasi cendekiawan kritis yang mampu mengawal demokrasi dan kemajuan bangsa. Negara dan universitas perlu memastikan tidak ada campur tangan militer dalam kegiatan akademik dan organisasi mahasiswa agar kebebasan berpikir dan demokrasi tetap terjaga.

Selayaknya tentara tidak masuk ke dunia akademik. Kita dapat membayangkan betapa anehnya jika banyak orang berseragam militer mengajar di institusi sipil, sementara sangat jarang orang sipil yang mengajar di institusi kemiliteran. Demi menuntut asas keadilan, jika pos-pos sipil diambil alih oleh tentara, mestinya pos-pos militer juga dapat dilibatkan dalam ranah sipil. Kenyataannya negara memberi amanat kepada tentara untuk memegang senjata, sementara rakyat sipil hanya diminta tunduk pada pemerintah, tanpa memperhatikan esensi negara demokrasi yang menghargai kebebasan dan kesetaraan.

Semoga ada titik terang untuk mengembalikan keseimbangan.

 

PROBO DARONO YAKTI

Pengamat Militer CNDSS dan Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular