Di panggung besar republik ini, drama-drama tak selalu dimainkan oleh aktor panggung atau selebritas. Kadang, para jenderal dengan sepatu kinclong dan wajah datar lebih piawai memainkan skenario. Salah satu babak paling mencolok minggu ini adalah peristiwa nyaris pencopotan Letjen Kunto Arief Wibowo.
Putra mantan Wakil Presiden Try Sutrisno ini sudah di-SK-an untuk disingkirkan dari jabatan strategis Pangkogabwilhan I. Tentu saja, seperti biasa, semua dibungkus dalam kertas kado bernama “mutasi rutin,” meski isinya sepekat kopi hitam tanpa gula: politisasi militer. Dunia militer pun geger.
Mari kita buka kotak Pandora ini perlahan. Tanggal 29 April 2025, keluar surat mutasi Panglima TNI: Letjen Kunto dicopot dan digeser ke jabatan “sakti” sebagai Staf Khusus KSAD. Jabatan yang diberikan kepadanya ini secara fungsional bisa diibaratkan kursi cadangan di ruang tunggu bandara.
Yang membuat publik tercengang, Kunto baru menjabat dua bulanan, dan yang jadi penggantinya ditunjuk Laksda Hersan, mantan ajudan Presiden Joko Widodo alias Mulyono, nama terkenal di dunia meme internet atau nama samaran yang seolah lebih cocok untuk karakter di sinetron FTV ketimbang eks kepala negara.
Namun, hanya sehari kemudian, tanggal 30 April, keputusan itu direvisi. Kunto tak jadi dicopot. Tentu saja dengan dalih administratif nan diplomatis dari Kapuspen TNI. Katanya ada “rangkaian jabatan yang belum bisa bergeser,” sebuah kalimat yang sulit dimengerti kecuali oleh para penyeruput kopi pahit.
Jika boleh dimisalkan, dalam kasus terakhir ini, jabatan TNI seakan-akan seperti gerbong kereta api, dan Pak Kunto kebetulan duduk di gerbong yang rel-nya longsor. Maka, demi keselamatan bersama (dan mungkin karena tekanan eksternal yang panasnya melebihi knalpot truk), diputuskanlah: mutasi dibatalkan.
Yang membuat publik mengangkat alis — dan netizen mencak-mencak dengan segala macam kalimat yang dilontarkan — adalah motif di balik mutasi ini. Menurut banyak analisis (dan bisik-bisik grup WA para mantan jenderal), mutasi ini merupakan bentuk kemarahan Pak Mulyono terhadap ayahanda Kunto, yakni Try Sutrisno.
Anda tahu, Pak Try yang Wapres era Soeharto yang suaranya lembut ini ikut menandatangani petisi purnawirawan untuk melengserkan Gibran Rakabuming, putra Jokowi, dari jabatannya sebagai Wapres. Dia bergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI, dan membuat delapan tuntutan sebagai pernyataan sikap terhadap kondisi terkini.
Surat mereka ditandatangani oleh 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Ada nama-nama besar, seperti Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, dll. Dan Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno ikut tanda-tangan sebagai pihak yang mengetahui.
Dan dari situlah cerita pencopotan Kunto menjadi lebih menarik: demi rasa personal yang terluka, seorang mantan presiden mengintervensi militer agar orang-orang dekatnya tetap pegang kendali. Laksda Hersan, sang pengganti Kunto yang sempat diumumkan, bukan hanya perwira laut, tapi juga perwira dalam ingatan: ajudan yang setia.
Maka lengkaplah strategi “ayudanisasi” militer — di mana bekas ajudan bertransformasi menjadi pion utama di papan catur kekuasaan. Ini menimbulkan pertanyaan: apa kabar profesionalisme militer? Mari kita simpan harapan dalam kotak penyimpanan dengan tulisan “Buka saat demokrasi beneran tiba.”
Tapi tetap penting kita menyegarkan ingatan. Samuel Huntington, dalam karyanya yang melegenda “The Soldier and The State” (1957), menjelaskan konsep profesionalisme militer sebagai “manajemen kekuatan bersenjata yang otonom dari kepentingan politik, tunduk hanya pada konstitusi dan komando sipil yang sah.”
Di Indonesia, Prof. Salim Said (alm), dalam banyak karyanya yang monumental, juga tak bosan-bosannya menyoroti bagaimana TNI sejak Orde Baru hingga kini belum sepenuhnya melepaskan diri dari politik praktis. Mereka bahkan cenderung menjadi instrumen kekuasaan, tergantung siapa yang memegang kendali.
Mutasi Pak Kunto adalah bukti sahih bahwa teori itu masih berdebu di rak buku, jauh dari praktik di lapangan. Profesionalisme TNI masih jauh dari harapan. Kisah ini juga menguak sisi lain: apakah Panglima TNI kita hari ini benar-benar panglima, atau sekadar juru tulis bagi kehendak Pak Mulyono yang kini menghadapi kasus ijazah palsu?
Revisi mendadak keputusan mutasi menunjukkan dua hal: ada tekanan politik sangat kuat, atau Panglima sendiri menyadari bahwa ia hampir terjebak dalam blunder sejarah. Bahkan, Prabowo — mantan Menteri Pertahanan era Jokowi dan kini presiden — dikabarkan marah besar atas keputusan Panglima, hingga buru-buru harus dikoreksi esok hari.
Kasus kudeta atau kooptasi sunyi atas jabatan penting itu memberi pelajaran dan momentum penting bagi Prabowo. Tak mengherankan bila dalam waktu dekat, seperti dikatakan seorang netizen, “kaki-kaki Mulyono akan dipretelin”: Panglima TNI, Kapolri, atau siapa saja yang jadi sisa-sisa era yang mestinya sudah tutup buku.
Apa yang bisa disimpulkan dari semua ini? Bahwa militer kita masih mudah dikooptasi rasa pribadi. Bahwa jabatan-jabatan strategis masih bisa dimainkan seperti pion dalam catur. Bahwa seorang perwira tinggi bisa “dipinggirkan” hanya karena ayahnya terlalu jujur dan terlalu tua untuk takut.
Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap semangat reformasi TNI, tapi juga pengabaian terang-terangan terhadap prinsip meritokrasi. Seandainya Letjen Kunto benar-benar dicopot karena performa buruk, itu wajar. Tapi jika karena “dosa turunan”, ini bukan militer, ini sinetron kolosal. Semua tahu, dia baru dua bulanan menjabat, bahkan belum sempat bekerja apa-apa.
Di zaman Soeharto, militer ibarat anjing penjaga kekuasaan. Setelah Reformasi, kita berharap anjing itu pensiun dan berganti menjadi anjing penjaga konstitusi. Tapi hari ini, anjing itu tampaknya kembali menggonggong atas perintah tuan lama — yang kini tak lagi di Istana, tapi masih ingin mengatur istana.
Mungkin sudah waktunya kita buka kembali buku-buku Huntington dan Salim Said, lalu mengajar ulang pelajaran dasar kepada para jenderal dan sipil yang mengintervensi: bahwa dalam republik, loyalitas bukan kepada personalitas, tapi kepada hukum dan rakyat. Dan lebih penting lagi, tetap menjaga akal sehat.
Dan buat para perwira: kalau hanya bisa setia pada yang pernah menggaji kalian, ingatlah: negara juga menggaji kalian — dengan pajak yang kami bayar dari keringat dan peluh berbau menyengat.
AHMADIE THAHA (Cak AT)
Wartawan Senior dan Kolumnis