
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Di tengah arus deras transformasi digital, satu persoalan krusial masih membayangi jutaan warga Indonesia: sunyi digital yang membentang di banyak sudut negeri. Untuk itu, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri menggelar Rapat Koordinasi Tingkat Pusat secara daring, sebagai bentuk konsolidasi besar-besaran untuk menuntaskan blankspot internet di seluruh wilayah Tanah Air.
Rapat ini bukan sekadar rutinitas birokrasi. Ini adalah panggilan zaman, sebuah ikhtiar kolektif untuk memastikan tak ada lagi anak bangsa yang terputus dari jendela ilmu dan dunia. Dipimpin oleh Direktur SUPD II bersama Analis Kebijakan Ahli Madya, pertemuan virtual ini mempertemukan kekuatan lintas kementerian dan lembaga strategis: Kemenko Polhukam, Kemenkominfo, Komdigi, BUMN, Bappenas, hingga BAKTI Kominfo.
“Transformasi digital bukan pilihan. Ini adalah mandat konstitusi keadilan,” tegas Ditjen Bina Bangda dalam pernyataannya, Sabtu (3/5)2025).
Rapat ini membedah akar persoalan, dari ketimpangan infrastruktur digital hingga hambatan regulasi di daerah. Sesuai amanat UU Nomor 23 Tahun 2014, pembangunan infrastruktur strategis adalah ranah pusat. Namun lewat UU Cipta Kerja dan PP Nomor 46 Tahun 2021, pintu partisipasi daerah kini dibuka lebar—mulai dari penyediaan lahan hingga pembangunan ducting fiber optik.
Lebih dari 6.700 BTS memang telah berdiri di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Namun perjuangan belum selesai. Masih banyak desa yang terperangkap dalam senyap digital, tempat di mana anak-anak belajar tanpa sinyal dan puskesmas beroperasi tanpa koneksi.
Demi mempercepat penyebaran internet yang merata dan tangguh, Ditjen Akselerasi Infrastruktur Digital Komdigi memaparkan roadmap fiberisasi nasional dan program insentif internet berbasis fiber optik untuk rumah tangga. Salah satu terobosan berani: pembebasan biaya langganan selama enam bulan, dengan harapan pemerintah daerah turut aktif mengambil peran.
Kementerian Desa juga didorong lebih progresif dalam memanfaatkan Dana Desa untuk menghadirkan sinyal sebagai cahaya baru peradaban.
Namun, jalan menuju keadilan digital masih dipenuhi rintangan: belum kuatnya regulasi Kemendagri terkait perizinan lahan, pungutan liar, mahalnya PNBP dan pajak jaringan hingga 15%, serta keterbatasan layanan di sekolah dan fasilitas kesehatan.
Sebagai respons, Kemendagri bersama kementerian/lembaga sepakat menempuh sejumlah langkah taktis: penyusunan Instruksi Menteri Dalam Negeri, penguatan koordinasi lintas sektor, monitoring terpadu, harmonisasi kebijakan pusat-daerah, dan sinkronisasi data kebutuhan jaringan secara nasional.
Langkah ini bukan semata demi jaringan internet. Ini tentang keadilan. Tentang anak desa yang ingin belajar, tentang ibu di puskesmas yang butuh layanan cepat, dan tentang bangsa yang ingin berdiri sejajar di panggung global digital.
Perang melawan blankspot bukan lagi tugas segelintir pihak. Ini adalah jihad digital bangsa—agar tak satu pun anak negeri terjebak dalam gelapnya keterasingan informasi.
(Reza/Tommy/Rafel)