
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Di hadapan para calon doktor ilmu hukum, Bambang Soesatyo, tokoh parlemen dan negarawan senior, menyampaikan pesan yang menggugah nurani: menjaga keseimbangan antara demokrasi dan hukum bukan sekadar wacana akademik, melainkan sebuah perjuangan nyata untuk masa depan bangsa.
Mengajar mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Sabtu (3/5/2025), Bamsoet—sapaan akrab Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20—menguraikan bahwa demokrasi tanpa hukum adalah jalan menuju anarki, sementara hukum tanpa demokrasi adalah lorong gelap menuju penindasan.
“Keseimbangan antara demokrasi dan hukum adalah nyawa bagi Indonesia yang merdeka dan berkeadilan. Kita butuh hukum yang adil, bukan alat kekuasaan. Kita butuh demokrasi yang sehat, bukan yang bisa dibeli atau dibajak,” tegas Bamsoet dengan suara mantap namun hangat.
Sebagai anggota Komisi III DPR RI dan dosen tetap di Universitas Jayabaya, Unhan, dan Universitas Borobudur, Bamsoet bicara tak hanya dari atas podium, tetapi dari kedalaman pengalaman legislatifnya. Ia menegaskan bahwa hukum harus menjadi penjaga nurani bangsa, bukan alat untuk menindas rakyat yang berbeda suara.
“Lihatlah negara-negara yang kehilangan keseimbangan itu—Korea Utara, Suriah, Myanmar. Di sana, hukum tak lagi melindungi rakyat. Ia berubah menjadi cambuk kekuasaan. Indonesia tidak boleh berjalan ke arah itu,“ ujarnya penuh tekanan emosional.
Di hadapan para akademisi dan mahasiswa doktoral, Bamsoet bukan hanya memberi kuliah. Ia membakar semangat. Mengajak berpikir, merasa, sekaligus bertindak.
“Kita ini sedang berjalan di jalan sunyi para pejuang konstitusi. Tidak selalu disorot, tidak selalu dipuji. Tapi tanpa orang-orang yang menjaga garis keseimbangan ini, republik bisa limbung. Dan anak cucu kita akan menanggung akibatnya,” tambah Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia itu.
Dengan lugas ia mengingatkan, bahwa penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas dari intervensi politik adalah benteng terakhir demokrasi. Lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, KPK, dan pengadilan bukan sekadar institusi birokrasi—mereka adalah penjaga martabat rakyat.
“Kalau hukum tunduk pada politik, maka kita akan melihat rakyat diadili bukan karena salah, tapi karena berbeda pendapat. Ini bukan Indonesia yang kita impikan,” tutup Bamsoet dengan nada berat, menggugah, seolah mewariskan tugas suci kepada generasi penerus.
(Reza/Rafel)